Miris! RI Pilih Impor LPG, Padahal Punya Harta Karun Ini

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Kamis, 06/10/2022 14:10 WIB
Foto: Pekerja melakukan bongkar muat tabung LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 Kg atau gas melon di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (14/7/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia kini masih tak terlepas dari candu impor Liquefied Petroleum Gas (LPG), bahkan terlihat semakin menjadi-jadi. Hal ini bisa terlihat dari impor LPG yang terus meningkat tiap tahunnya dan porsi impor yang semakin besar, bahkan telah mencapai di atas 70%.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG RI dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.


Lonjakan nilai impor LPG tak terlepas dari kenaikan harga LPG di pasar internasional, khususnya Contract Price Aramco (CP Aramco). Apalagi, pasokan LPG Indonesia masih didominasi oleh impor. Lebih dari 70% kebutuhan LPG nasional berasal dari impor.

Padahal di sisi lain, Indonesia memiliki "harta karun" energi lainnya yang bisa menggantikan impor LPG ini. "Harta karun" yang dimaksud di sini yaitu gas alam. Gas alam juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan memasak bagi konsumen rumah tangga, dengan menggunakan jaringan pipa gas.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM, pada 2021 pemanfaatan gas alam domestik "hanya" 66% dari realisasi salur (lifting) gas. Pada 2021, realisasi lifting gas sebesar 981,98 ribu barel setara minyak per hari atau 5.501 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Bila pemakaian gas alam ini digencarkan, maka ini bisa berkontribusi menekan impor LPG dan menghemat devisa negara, sambil mengoptimalkan sumber daya alam di dalam negeri.

Berdasarkan data terbaru Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), status per 31 Desember 2021, Indonesia memiliki cadangan terbukti (proven reserves) gas alam sebesar 34,64 triliun kaki kubik (TCF).

Bila digabungkan dengan data cadangan potensial (potential reserves), berdasarkan data Kementerian ESDM status 1 Januari 2021, total cadangan gas RI mencapai 60,61 TCF.

Jumlah tersebut masih bisa bertambah, terutama karena masih banyak puluhan cekungan hidrokarbon di Tanah Air yang belum dieksplorasi. Dari 128 cekungan (basins), baru 20 cekungan yang sudah menghasilkan minyak dan gas bumi, delapan cekungan telah dibor namun belum berproduksi, dan masih ada potensi 100 cekungan lainnya, di mana 68 cekungan masih belum dibor sama sekali.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebut, masa depan sumber energi RI yaitu gas, karena selain potensinya besar, gas juga berkontribusi dalam transisi energi karena gas dinilai sumber energi yang lebih bersih.

"Saat ini kita menghadapi transisi energi menuju net zero emission. Energi yang bisa diterima sampai EBT bisa suplai adalah gas. Indonesia beruntung karena potensi ke depan lebih banyak gas. Kita punya berlebih gas, kenapa kita gak gunakan," ungkap Dwi di Bandung, Selasa (4/10/2022).

Namun, Dwi menekankan agar pengembangan potensi gas di Indonesia juga dapat dibarengi dengan pembangunan infrastruktur gas. Dengan demikian, penyaluran gas untuk kebutuhan, baik itu industri maupun rumah tangga dapat tersalurkan.

"Gas ini gak bisa dibawa ke mana-mana, oleh karena itu butuh infrastruktur. Potensi Aceh besar bisa mengalir ke Jawa Barat. Jadi, oleh karena itu, pipa Semarang ke Cirebon, Dumai-Sei Mangkei harus juga, sehingga mau kembangkan di mana saja. Jadi itu yang kita lihat bahwa potensinya seperti itu," kata dia.

Dwi mengatakan, pasokan gas di dalam negeri kini berlimpah, dan dalam waktu dekat bakal bertambah lagi dengan mulai beroperasinya sejumlah proyek gas besar di Tanah Air.

Adapun salah satu daerah yang surplus gas yakni Jawa Timur.

Beberapa proyek gas yang segera beroperasi di antaranya yaitu Jambaran Tiung Biru (JTB) oleh Pertamina EP Cepu, proyek gas milik operator Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), dan Proyek Bukit Tua Phase milik Petronas.

"Jadi kalau nanti JTB beroperasi, HCML akhir tahun ini beroperasi, dan awal tahun depan beroperasi satu lagi Petronas yang Bukit Tua, nanti surplus Jawa Timur," kata Dwi ditemui di Bandung, Selasa malam (4/10/2022).

Lebih lanjut, menurut Dwi, dengan mulai beroperasinya JTB saja, setidaknya bakal ada tambahan gas sebesar 20 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dalam waktu dekat. Bila proyek JTB ini beroperasi penuh, maka diperkirakan bisa memproduksi 190 MMSCFD gas.

Sementara dengan mulai beroperasinya proyek HCML terdapat tambahan pasokan gas sebesar 40 MMSCFD.

Belum lagi, Indonesia juga masih memiliki tiga proyek gas yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Misalnya, proyek Train-3 Kilang Gas Alam Cair (LNG) Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, yang dioperasikan oleh BP Berau Ltd. Proyek Train 3 Kilang LNG Tangguh ini ditargetkan akan beroperasi pada Kuartal I 2023 dan akan memproduksi sebanyak 700 MMSCFD dan 3.000 barel kondensat per hari.

Berikutnya, proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) yang dikelola Chevron Indonesia Company dengan potensi produksi gas mencapai 844 MMSCFD dan 27.000 barel minyak per hari.

Selain itu, ada pula proyek Kilang LNG dari Lapangan Abadi, Blok Masela yang dikelola oleh Inpex Corporation. Proyek Kilang LNG Masela ini diperkirakan bisa memproduksi sebanyak 1.600 MMSCFD atau setara 9,5 juta ton per tahun (MTPA) LNG, 150 MMSCFD gas pipa, dan 35.000 barel kondensat per hari.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: 80% LPG RI Berasal Dari Impor!