Hati-hati! Ada Bom Waktu Siap Ledakkan Ekonomi RI di 2023

News - Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
06 October 2022 12:40
Pasar Keuangan RI Terguncang_Cover Foto: cover topik/Pasar Keuangan RI Terguncang_Cover/Aristy rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 di Indonesia menyimpan risiko 'bom waktu', terlebih lagi di tengah kondisi gunjang-ganjing global.

Risiko tersebut adalah kredit macet atau nonperforming loan (NPL). Pada masa pandemi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan restrukturisasi. Kebijakan ini telah berlaku sejak Maret 2020 dan akan berakhir Maret 2023.

Dengan adanya restrukturisasi, secara otomatis tingkat NPL tetap terjaga karena debitur memiliki ruang bernapas untuk mengatur kreditnya. Bahkan, OJK mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan subsidi bunga, penjaminan UMKM dan korporasi.

Ekonom senior Chatib Basri yang pernah menjabat sebagai menteri keuangan di era SBY mengkhawatirkan ketika OJK melepas restrukturisasi pada 2023, maka NPL akan naik.

"Kan di 2023, OJK akan selesai relaksasi...NPL-nya sekarang rendah sebesar 4%, tapi loan risk-nya tinggi 18%, kredit yang dianggap berisiko," ujar Chatib dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, dikutip Kamis (6/10/2022).

"Kalau benar-benar diterapkan normalisasi, mungkin NPL-nya akan naik," tambah Chatib.

Dikutip dari data OJK dan Bank Mandiri, jumlah loan at risk (LAR) per Juli 2022 telah turun sebesar Rp 192 triliun sehingga total saat ini menjadi Rp 1.059 triliun.

Meskipun turun, nilainya masih cukup besar dibandingkan posisi April 2020, sebesar Rp 751 triliun. Sejalan dengan penurunan LAR, posisi rasio restrukturisasi kredit juga turun menjadi 9,10% atau nominalnya Rp 560 triliun, lebih baik dari posisi Desember 2021.

Namun, masih lebih tinggi dibandingkan rasio April 2020, sebesar 3,62%.

Data NPL dan Loan At Risk Perbankan RIFoto: BMRI
Data NPL dan Loan At Risk Perbankan RI

Dengan tingkat NPL yang tinggi, perbankan akan selektif menyalurkan kredit ke depannya. Saat ini, di tengah tren penurunan harga obligasi, dia melihat bank akan enggan menjual kepemilikan obligasinya.

"Dia (bank) akan keep bondnya, ini akan maturity aja." Kondisi ini yang diyakini Chatib akan memperketat likuiditas.

"Dia tidak mau pakai untuk lending. Kalau jual bond, dia lending, malah dia loss," kata Chatib yang juga merupakan Komisaris Utama Bank Mandiri.

Dari data IMF yang dikutip CNBC Indonesia, posisir rasio NPL Indonesia pada 2020 tercatat lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Vietnam dan China. Indonesia rasionya mencapai 3,06%, sementara Malaysia 1,57%, Vietnam 1,87% dan China 1,84%.

OJK sendiri masih membuka kemungkinan perpanjangan restrukturisasi kredit jika ekonomi masih dibayangi oleh Covid-19.

"Saya yakin bahwa memang kalau melihat persoalan ekonomi kita yang masih belum lepas 100% dari Covid-19 dan tantangan global yang sekarang berkembang, tampaknya kita memang akan memperpanjang, tetap akan memperpanjang ini," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan, dikutip Kamis (6/10/2022).

Namun, Dian belum dapat mengungkapkan secara detail terkait dengan skema restrukturisasinya. Jika diperpanjang, dia memastikan OJK akan lebih 'targeted' atau terarah dalam hal pemberian insentif tersebut. OJK akan melihat sektor, geografis dan lainnya.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Pengusaha Megap-megap, Lelang Jaminan Utang Bank Tembus 10 T


(haa/haa)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading