Ini Kata 5 Ekonom Soal Momok yang Ditakutkan Jokowi
Jakarta, CNBC Indonesia - Saat ini, dunia hingga Indonesia dihadapkan oleh momok besar yang membebani ekonomi. Hal tersebut adalah inflasi tinggi. Hal ini disampaikan berulang kali oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Inflasi yang terbang tinggi ini dipicu oleh kenaikan harga pangan hingga energi, dan perang Rusia-Ukraina yang tak pasti kapan berakhir.
"Pertama yang ingin saya sampaikan momok pertama semua negara saat ini inflasi, inflasi semua negara biasanya hanya 1 sekarang 8, lebih dari 10 dan bahkan ada lebih dari 80 persen, ada 5 negara," kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, dikutip Selasa (4/10/2022).
Oleh karena itu, Jokowi berpesan pemerintah pusat dan daerah harus kompak dan harus bersatu dari pusat provinsi kabupaten kota sampai ke bawah dan semua kementerian dan lembaga (K/L).
"Seperti saat kita kemarin menangani Covid, kalau Covid bisa bersama-sama urusan inflasi ini kita harus bersama-sama," katanya.
Pada September 2022, momok yang ditakutkan tersebut menjadi nyata.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi September mencapai 1,17% dibandingkan Agustus 2022 dan 5,95% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun, penyebab tingginya inflasi pada September 2022 adalah kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite, Solar dan Pertamax oleh pemerintah.
Kebijakan ini juga mendorong kenaikan bagi komponen lainnya, terutama transportasi.
Angkutan dalam kota di mana kenaikan tarifnya menyebabkan inflasi 24,36% dan andil 0,10%.
Angkutan udara sendiri juga alami kenaikan 49,66% dan andil inflasi 0,39%. Selanjutnya ada bahan bakar rumah tangga, tarif angkutan antar kota, tarif kendaraan roda 2 online dan tarif kendaraan roda 4 online.
Lantas, apakah kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan inflasi bulan depan?
Apakah strategi pemerintah saat ini cukup untuk mengatasi laju inflasi?
Berikut ini pandangan dari lima ekonom yang dikumpulkan oleh CNBC Indonesia.
1. Ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman
Faisal melihat laju inflasi akan tetap tinggi di sisi tahun 2022, sehingga inflasi keseluruhan tahun akan mencapai 6%.
"Ini umumnya karena pemulihan permintaan (demand-pull inflation) di tengah relaksasi PPKM, serta kenaikan harga makanan dan energi akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite dan solar subsidi (cost-push inflation)," ujarnya.
Dampaknya, pada putaran pertama, kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah akan tampak.
Kemudian, disusul pada putaran kedua, kenaikan harga barang dan jasa.
"Terlebih lagi, sebagai catatan dari BPS, tidak semua kota sudah melakukan penyesuaian harga transportasi akibat penyesuaian harga BBM pada September 2022," ujarnya.
Artinya, Faisal melihat akan ada kenaikan pada inflasi utama dan inflasi inti ke depannya.
Secara keseluruhan, dia memperkirakan inflasi akan mencapai 6,27% pada akhir 2022, jauh dibandingkan 1,87% pada 2021.
Kondisi ini akan membuat Bank Indonesia (BI) meningkatkan suku bunga acuannya hingga 5%.
2. Ekonom OCBC Bank Wellian Wiranto
Wellian menuturkan bahwa inflasi September meleset dari perkiraan.
Dia meyakini tantangan inflasi akan tetap ada ke depannya.
"Efek kenaikan harga bahan bakar pada barang-barang lain mungkin masih akan merembes lebih jauh dalam beberapa bulan mendatang untuk mendorong kenaikan inflasi inti lebih lanjut," ujarnya.
Alhasil, dia melihat BI akan hawkish untuk sementara waktu. Wellian memperkirakan BI akan kembali menaikkan suku bunga acuannya.
"Kami memperkirakan total kenaikan 100 bps (basis points) ke depannya, masing-masing dengan kenaikan 25 bps hingga Jan 2023," ujar Wellian.
3. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede
Dia memandang pemerintah perlu mengelola stabilitas inflasi pangan melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) sehingga tidak terjadi kenaikan harga pangan yang pada akhirnya akan mengamplifikasi dampak kenaikan harga BBM.
"Selain itu, Bank Indonesia juga perlu menjangkar ekspektasi inflasi dengan normalisasi suku bunga acuan sehingga inflasi inti tahun depan diharapkan dapat kembali melandai dan berada dalam target sasaran inflasi BI, yakni di bawah 4% yoy," kata Josua kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (4/10/2022).
Namun, dia mengingatkan perihal transmisi dari kenaikan suku bunga acuan BI yang akan terefleksi pada sektor keuangan a.l. suku bunga perbankan, suku bunga pembiayaan multifinance termasuk juga asuransi.
Menurutnya, kenaikan suku bunga di sektor keuangan berpotensi mempengaruhi konsumsi yang selanjutnya akan membatasi pertumbuhan penyaluran kredit atau pembiayaan dari sektor jasa keuangan baik perbankan dan IKNB.
"Mempertimbangkan kondisi likuiditas perbankan yang masih tetap longgar, maka transmisi suku bunga kredit perbankan dan suku bunga pembiayaan IKNB diperkirakan akan lebih terbatas/lebih rendah dari kenaikan suku bunga acuan BI," tambahnya.
Namun secara umum, ketika kondisi inflasi meningkat yang direspon dengan kenaikan suku bunga, maka terdapat kecenderungan masyarakat untuk menahan belanja dan memilih untuk menabung.
"Apalagi kondisi global saat ini yang diperkirakan akan mengalami resesi juga menjadi pertimbangan masyarakat untuk menabung atau berinvestasi di pasar uang yang tingkat risikonya cenderung rendah dan juga cenderung likuid," paparnya.
4. Kepala Ekonom Bank CIMB Adrian Panggabean
Adrian melihat inflasi akibat kenaikan harga BBM akan berlanjut dalam dua bulan ke depan.
"Biasanya dua bulan, lalu mencapai peak, kemudian turun," katanya.
Namun, dia memberikan catatan bahwa hal ini terjadi saat kondisi normal.
Sekarang ini, dia melihat kondisinya cenderung tidak normal dengan adanya perubahan struktural akibat perang di Ukraina dan kebijakan Covid di China.
Kondisi ini membuat sistem pasokan global bergerak.
"Saya kira ini levelnya akan lebih panjang dari dua bulan, tetapi kita lihat ya," kata Adrian.
Dia menilai penanganan inflasinya akan lebih spesifik dari sekedar jurus-jurus biasa.
Dia mencontohkan, kondisi inflasi di Eropa yang disebabkan dari sisi pasokan, ternyata tidak bisa dikendalikan dengan kenaikan suku bunga atau melalui yield targeting.
"Tidak mudah juga untuk kita karena konteksnya juga berbeda. Konteks kebijakannya, magnitude-nya sama direction-nya juga berbeda," pungkasnya.
5. Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution
Damhuri menilai kenaikan harga membuat laju inflasi sangat kencang pada September.
Dia melihat inflasi kelompok volatile kemungkinan akan melandai sejalan dengan semakin murahnya sejumlah bahan pangan.
Kendati demikian, landainya inflasi pangan tidak akan mampu menahan lonjakan inflasi dari kelompok administered price sehingga inflasi umum pada September tetap kencang.
"Inflasi akan tetap tinggi meskipun harga bahan pangan semakin turun. Beberapa bahan pangan mengalami deflasi seperti daging ayam, daging sapi, bawang merah, dan gula," ujar Damhuri.
(haa/haa)