Pak Jokowi... Ekonomi RI Tidak Baik-Baik Saja, Ini Buktinya!

Maesaroh, CNBC Indonesia
29 September 2022 13:40
Warga antre untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite
Foto: Warga antre untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite di Jakarta, Senin (15/8/2022). Beberapa hari terakhir pengendara motor dan mobil harus mengantri cukup panjang untuk membeli Pertalite di SPBU Pertamina.  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia- Upaya pemulihan ekonomi Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan berat mulai dari lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga acuan, melonjaknya harga pangan, hingga i kaburnya investor asing.

Inflasi Indonesia secara tahunan (year on year/yoy), pada Agustus 2022 tercatat 4,69%. Inflasi tersebut memang lebih rendah dibandingkan pada Juli 2022 yang tercatat sebesar 4,94%. Namun, inflasi tahunan pada Agustus masih yang tertinggi sejak November 2015 (4,89%).

Inflasi Indonesia diperkirakan melonjak pada September karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi sejak awal bulan. Secara historis, kenaikan harga BBM akan melambungkan inflasi melalui dampak langsung (first round effect) dan dampak lanjutan (second round effect).

Sebagai catatan, pemerintah menaikkan harga BBM pada November 2014. Inflasi bulanan (month to month/mtm) pada November mencapai 1,56% sementara pada Desember menyentuh 2,46%. Inflasi pada 2014 menembus 8,36%.

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution memperkirakan inflasi September aakan menembus 1,20% (mtm) dan 5,99% (yoy).

"Inflasi diperkirakan melonjak sebagai dampak dari kenaikan harga BBM dan penyesuaian barang lainnya karena dampak BBM. Kenaikan harga BBM sudah berdampak kepada komponen lain termasuk inti," tutur Damhudi, kepada CNBC Indonesia.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia tidak pernah mencatatkan inflasi bulanan di atas 1% sejak Desember 2014 atau lebih dari tujuh tahun terakhir.

Melonjaknya harga-harga pangan juga membuat inflasi melonjak sepanjang tahun ini. Cabai, minyak goreng, telur ayam, daging ayam, dan kedelai bergantian melambungkan inflasi Indonesia.

Inflasi harga bergejolak menembus 8,93% (yoy) pada Agustus 2022, jauh di bawah target Bank Indonesia (BI) yakni 5-6%.
Pada pertengahan Juli 2022, harga cabai rawit merah bahkan menembus Rp 100.000 per kg. Harganya sempat melandai pada Agustus tetapi kemudian melonjak kembali pada September. Sementara itu, minyak goreng sempat meroket bahkan hilang dari pasaran pada Maret.

Lonjakan harga pangan pada tahun ini juga menjadi anomali. Harga pangan biasanya meroket menjelang Lebaran tetapi langsung anjlok begitu Lebaran usai. Namun, harga-harga pangan tetap melambung pada tahun ini setelah Lebaran Idul Fitri usai pada awal Mei. 

Selain inflasi, kenaikan suku bunga acuan BI kini menjadi kekhawatiran baru bagi pemulihan ekonomi Indonesia.  BI secara mengejutkan menaikkan suku bunga acuan mereka sebesar 50 basis points (bps) pada bulan ini setelah mengerek suku bunga sebesar 25 bps pada Agustus.

Kenaikan suku bunga acuan sebesar 75 bps dalam dua bulan terakhir ini di atas ekspektasi pasar.Kenaikan tersebut juga secara resmi mengakhiri era suku bunga rendah.

Sebelum kenaikan pada Agustus, BI sudah mempertahankan suku bunga dii kisaran 3,50% selama 17 bulan. Suku bunga 3,40% adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Keputusan BI untuk mengerek suku bunga dikhawatirkan akan membuat perbankan menaikkan suku bunga pinjaman dalam waktu dekat sehingga bisa melemahkan permintaan kredit.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga itu pengaruhnya terhadap kenaikan suku bunga perbankan, baik suku bunga kredit dan simpanan, akan lebih lambat dari kondisi sebelum Covid-19.

"Elastisitasnya akan lebih rendah dari sebelum Covid karena likuiditas yang longgar. Itu pengaruh dari kebijakan ini terhadap suku bunga," papar Perry dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI, dikutip Senin (26/9/2022).

Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada periode pengetatan moneter, suku bunga perbankan yang sangat reaktif terhadap kenaikan suku bunga BI adalah untuk kredit konsumsi.

BI menaikkan suku bunga secara agresif pada 2005, 2008, 2013, dan 2014, untuk menekan laju inflasi akibat harga BBM.

Hanya pada 2014, suku bunga kredit tidak reaktif bahkan melandai. Selebihnya, kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit investasi langsung merangkak naik begitu ada kenaikan harga BBM.

Misalnya, pada Juni 2013 pemerintah menaikkan harga BBM dan BI mengantisipasi kenaikan tersebut dengan mengerek suku bunga sejak Mei.

Sepanjang Mei-Oktober 2013, BI mengerek suku bunga hingga 150 bps hingga menyentuh 9,50% pada Oktober 2008.
Kredit modal kerja berdenominasi rupiah langsung naik dari 11,42% pada Juli menjadi 11,68% pada Juli dan 11,81% dan berada di posisi 12,14% pada Desember 2013.

Kredit investasi naik dari 11,14% pada Juni menjadi 11,29% dan di posisi 11,83% pada Desember 2013.

Capital outflow dan pelemahan rupiah juga menjadi hambatan lain dari pemulihan ekonomi global.

Data Bank Indonesia berdasarkan data setelmen 1 Januari- 22 September 2022 menunjukkan investor asing mencatat jual neto sebesar Rp 148,11 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Investor asing juga semakin meninggalkan surat utang pemerintah.

Pada lelang Surat Utang Negara (SUN) pada Selasa pekan ini, jumlah penawaran yang datang dari investor asing mencapai Rp 1,7 triliun. Jumlah tersebut menjadi yang terendah kedua sepanjang tahun ini.

Dari tujuh seri yang dilelang, dua seri bahkan tidak mampu menarik minat investor asing.


Kaburnya investor asing dari pasar SBN membuat rupiah goyang.  Nilai tukar rupiah sudah ambruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir.  Tren pelemahan rupiah mulai terjadi sejak 12 Maret lalu. Hingga Rabu kemarin saat berakhir di Rp 15.260/US$, rupiah sudah merosot nyaris 3%.

Dengan pelemahan tersebut, sepanjang tahun ini Mata Uang Garuda sudah merosot hingga 7% dan berada di level terlemah dalam lebih dari 2,5 tahun terakhir.

Melemahnya dolar AS akan memberatkan banyak perusahaan Indonesia karena sebagian besar barang modal/bahan baku sebagian besar masih impor.  Pelemahan rupiah juga akan membuat barang-barang konsumsi yang diimpor akan mahal mulai dari kedelai, gandum, hingga netbook.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Duh! Harga Pangan Global Mulai Turun, tapi Tidak di Asia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular