Jika PLTU Batu Bara 'Kiamat', Ini yang Bakal Terjadi pada RI

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
Senin, 19/09/2022 09:40 WIB
Foto: Detikcom

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) resmi melarang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara baru dan juga meminta Menteri untuk menyusun peta jalan percepatan pengakhiran atau mempensiunkan PLTU yang masih beroperasi saat ini.

Kebijakan tersebut resmi tercantum dalam Peraturan Presiden No.112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik.

Peraturan Presiden ini ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 13 September 2022 dan berlaku efektif pada saat diundangkan yakni sama seperti tanggal penetapan, 13 September 2022.


Adapun kebijakan tersebut ditujukan dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 3. Pada Pasal 3 (1) berbunyi:
"Dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral."

Namun di sisi lain, pada ayat 4 disebutkan bahwa pengembangan PLTU baru dilarang, kecuali salah satunya bagi PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini.

Bila pembangunan PLTU baru dilarang dan operasional PLTU saat ini akan dipercepat masa "pensiun"nya, maka ini dikhawatirkan bisa berdampak pada sektor pertambangan batu bara yang merupakan sumber energi utama PLTU. Berikut beberapa hal yang kemungkinan bisa terjadi pada RI bila "kiamat" batu bara benar terjadi:

1. Tenaga Kerja

Dari sisi tenaga kerja misalnya, diperkirakan ratusan ribu orang akan kehilangan pekerjaan.

Perlu diketahui, batu bara merupakan komoditas andalan RI saat ini. Bahkan, pada 2020 Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Tak ayal bila industri ini menyerap banyak tenaga kerja.

Industri batu bara telah menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 150 ribu pada 2019 lalu. Hal tersebut tertuang dalam data Booklet Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020.

"Industri batu bara menyerap tenaga kerja hingga 150.000 pada tahun 2019. Komposisi tenaga kerja asing sebanyak 0,1%," tulis Booklet Batu Bara Kementerian ESDM 2020 tersebut.

Jumlah tenaga kerja tersebut bahkan belum termasuk penyerapan tenaga kerja di bidang operasional PLTU. Bila dimasukkan dengan tenaga kerja di PLTU, maka artinya jumlah tenaga kerja yang harus kehilangan pekerjaan menjadi lebih besar lagi.

Bila pemerintah sepenuhnya menghentikan penggunaan PLTU maupun produksi batu bara, maka artinya harus siap-siap membuka lapangan kerja baru untuk ratusan ribu tenaga kerja RI yang saat ini bekerja di industri pertambangan batu bara.

2. Perusahaan Tambang

Dari sisi jumlah perusahaan, bila "kiamat" batu bara ini benar terjadi, maka juga dikhawatirkan akan berdampak pada ribuan tambang batu bara yang beroperasi saat ini akan mati.

Berdasarkan data dari Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara pada 2021 tercatat mencapai 1.162 perizinan, terdiri dari 1.157 IUP Operasi Produksi batu bara dan 5 IUP Eksplorasi batu bara. Selain itu, terdapat sekitar 66 pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021), sempat mengatakan bahwa pemerintah berencana mengurangi 5,52 GW PLTU sampai 2030, terdiri dari pengurangan PLTU Jawa - Bali sebesar 3,95 GW dan Sumatera sebesar 1,57 GW.

"Kami rencanakan early retirement PLTU batu bara, Jawa-Bali phase out 3,95 GW dan Sumatera phase out 1,57 GW sampai 2030," ungkapnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021).

Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, pemensiunan PLTU ini juga akan berdampak ke seluruh perusahaan pertambangan batu bara, yang mana jumlahnya tidak hanya puluhan saja, sehingga industri pertambangan ini perlu dikelola dengan baik.

"Industri tambang kita nggak hanya sepuluh company, ada ratusan perusahaan yang harapkan industri ini akan tumbuh, tambang juga perlu pijakan kepastian jangka panjang," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia.

3. Antisipasi Dunia Ikut Tinggalkan Batu Bara

Sementara itu, menurutnya negara tujuan ekspor batu bara RI juga salah satu faktor penting untuk keberlanjutan batu bara RI. Ketika dunia juga melakukan transisi energi ke Energi Baru Terbarukan (EBT), maka Indonesia juga harus mengantisipasi hal ini.

"Kalau kita bicara batu bara, tentu poin penting adalah bagaimana antisipasi kita sebagai eksportir batu bara terbesar dunia. Sehingga jelas, arah negara importir dalam menyikapi komitmen negara importir atas EBT atau emisi, demikian juga tentu di dalam negeri, bagaimana EBT dapat diperbesar sekaligus bagaimana komitmen untuk melakukan phase down PLTU batu bara," tuturnya.

Singgih menyebut penyerapan batu bara melalui Peningkatan Nilai Tambah (PNT) tidak akan menggantikan hilangnya potensi ekspor dan juga penurunan akibat phase-down PLTU batu bara PLN. Adapun dari rencana kewajiban dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), di tahun 2030 baru akan menyerap sekitar 36 juta ton untuk proyek Dimethyl Ether atau DME dan lainnya.

Oleh sebab itu, dengan kondisi yang akan dihadapi ke depan maka Singgih berpandangan bahwa pemerintah harus melakukan berbagai langkah strategi ke depan. Di antaranya yakni:

Pertama, Kementerian ESDM segera memetakan penurunan penggunaan batu bara yang terjadi oleh China dan India ke depan, minimal sampai 2025/2026.

Kedua, Segera memetakan total produksi nasional batu bara sampai 2025/2026, bahkan jika perlu Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) perusahaan tambang yang saat ini dalam 1 tahunan, diupayakan dalam 5 tahun.

"Berat memang, namun harus dicoba agar kepastian perusahaan dalam produksi dan investasi menjadi jelas. Ini bukan saja untuk tujuan bisnis dan penerimaan devisa, namun justru terpenting terkait untuk menghindari rusaknya lingkungan tambang yang bisa saja berhenti di saat peta produksi tidak dipetakan secara jelas," katanya.

Ketiga, Tata kelola tambang batu bara harus diperbaiki terus, sekaligus besarnya di setiap zonasi tambang atas potensi ekspor dan domestik lebih diperjelas. Dengan demikian dapat menjadi pijakan Kementerian ESDM dalam membuat besarnya rencana produksi dan RKAB untuk 5 tahun ke depan.

4. Hilirisasi Batu Bara

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli juga sempat menuturkan bahwa konsumsi batu bara nasional diperkirakan akan berkurang 175-190 juta ton per tahun atau setara dengan pengurangan pendapatan sebesar Rp 25 triliun per tahun bila PLTU dihentikan sama sekali.

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah dinilai harus memacu hilirisasi batu bara untuk menggantikan hilangnya pasar.

"Sampai 2060 diperkirakan pemakaian batu bara akan berkurang sebesar 175-190 juta ton atau sekitar Rp 25 triliun. Pemerintah harus memacu tumbuhnya hilirisasi batu bara," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (11/11/2021).

Dia menjelaskan, konsumsi batu bara dalam negeri secara global masih kecil. Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, konsumsi batu bara Indonesia baru sekitar 2,2% dari total porsi konsumsi batu bara dunia, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan China yang memiliki porsi 54,3%, India 11,6%, dan USA 6,1%.

"Indonesia masih jauh lebih rendah pemakaian batu baranya," ujarnya.

Sebagai pengganti kehilangan pendapatan dari sektor batu bara ini, maka menurutnya pemerintah harus mencari alternatif pengganti sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari industri lainnya untuk mendukung pembangunan nasional.

"Ini juga akan berdampak kepada pengurangan lapangan kerja, baik tenaga kerja langsung atau tidak langsung, dari pertambangan batu bara. Ini harus dicarikan jalan keluarnya," imbuhnya.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PLTU Bertambah, Energi Terbarukan Tetap Jadi Prioritas