
Tsunami Inflasi sampai ke Argentina, Indonesia Harus Waspada?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi Argentina kian mengkhawatirkan. Pasalnya 'tsunami' inflasi telah sampai ke Negeri Tango tersebut.
Inflasi diperkirakan akan mencapai 95% menurut jajak pendapat bulanan yang diterbitkan Jumat oleh bank sentral. Saat ini Argentina memang tengah berjuang untuk mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan yang ditandai dengan melonjaknya harga.
Perkiraan terbaru untuk lonjakan harga konsumen adalah 4,8 poin persentase lebih tinggi dari perkiraan bulan sebelumnya. Analis memperkirakan bahwa inflasi Argentina naik 6,5% pada Agustus.
Sementara itu, tingkat inflasi tahunan pada 2023 negara Amerika Selatan diperkirakan akan mencapai 84%. Inflasi baru akan turun lagi 2024, 63%.
Ekonomi terbesar ketiga di Amerika Latin telah lama menderita inflasi tinggi. Ini diperparah oleh efek perang antara Ukraina dan Rusia.
Peserta jajak pendapat oleh bank sentral Argentina juga memperkirakan rata-rata nilai tukar resmi di Argentina pada bulan Desember mencapai 170,11 peso per dolar AS.
Untuk meredam inflasi, bank sentral Argentina menaikkan suku bunga acuannya sebesar 950 basis poin (bp) pada hari Kamis menjadi 69,5% dari 60%.
Bank sentral Argentina dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa keputusannya menaikkan suku bunga "akan membantu mengurangi ekspektasi inflasi untuk sisa tahun ini dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan dan pertukaran".
Bank sentral negara yang menjadi tanah air pesepakbola Lionel Messi itu juga mengatakan keputusan itu bertujuan untuk membawa suku bunga lebih dekat "ke medan positif secara riil."
Tingkat bunga riil yang positif adalah salah satu poin yang disepakati antara Argentina dan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam perjanjian utang senilai US$ 45 miliar baru-baru ini.
Halaman 2>>
Setali tiga uang dengan Argentina, ramalam naiknya inflasi juga mewabah hingga ke Indonesia. Mengapa?
Ketidakpastian ekonomi global masih menyelimuti perekonomian. Perang Rusia dan Ukraina yang belum berakhir hingga saat ini membuat harga komoditas pangan dan energi masih meninggi.
Lembaga rating internasional S&P Global Ratings juga memberikan sejumlah peringatan kepada Indonesia terkait kondisi ekonomi ke depan. Tingginya inflasi masuk di dalamnya, selain pengetatan kebijakan moneter, dan arus capital outflow yang membebani laju ekonomi domestik.
S&P mengatakan sebenarnya pemulihan ekonomi akan berlanjut. Tetapi tekanan inflasi dan guncangan dari eksternal menjadi risiko terbesar bagi pemulihan tersebut.
"Inflasi melonjak dalam beberapa bulan terakhir karena harga energi dan bahan makanan. Inflasi inti juga akan terus meningkat sejalan dengan permintaan domestik. Kenaikan harga energi yang baru diumumkan juga akan meningkatkan tekanan inflasi secara signifikan," tutur Vishrut Rana, ekonom Asia Pasifik S&P dalam webinar bertajuk "Indonesia Braces For Turbulence", Kamis (8/9/2022) pekan lalu.
Apalagi, harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah naik. Dampaknya tentu besar, karena BBM adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Mengingat situasi juga belum pulih dari pandemi Covid-19. Masih ada luka memar yang harus dibereskan, terutama dari sisi fiskal.
Negara dengan anggaran terbatas, mau tidak mau harus menaikkan harga BBM. Itu akan membiarkan beban lonjakan harga minyak dunia dirasakan masyarakat.
Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri inflasi Indonesia bakal menanjak. Saat ini inflasi Tanah Air sudah berada di atas 4%, sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak 2017.
Kenaikan tersebut dikeluarkan di saat Indonesia masih berkutat dengan tingginya inflasi. Terutama yang didorong kenaikan harga pangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Indonesia pada Agustus lalu mencapai 4,69% (year on year/yoy)). Inflasi memang mulai melandai dibandingkan Juli (4,94%) tetapi masih dalam level tertinggi dalam 7,5 tahun terakhir.
Inflasi diperkirakan masih menembus 4% pada 2023. Ini sebagai dampak kenaikan harga BBM.
Sementara itu, BPS juga mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,44% (yoy) pada kuartal II-2022. Meningkat dibandingkan pada kuartal I-2022 yakni sebesar 5,01%.
S&P memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1% pada 2022, lebih tinggi dibandingkan pada 3,7% pada 2021. Inflasi diperkirakan akan menembus 4%, jauh lebih tinggi dibandingkan 1,87% pada 2021.
Di tengah gonjang-ganjing proyeksi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, Indonesia tak lepas dari kekhawatiran itu. Banyak negara sudah alami penumpukan utang karena pandemi.
Belum lagi, beberapa negara maju memperketat kebijakan moneter lewat kenaikan suku bunga acuan. Sehingga penarikan utang butuh biaya sangat mahal.
Indonesia bisa saja bernasib sama seperti negara tersebut. Tapi tak semua efek perang berujung negatif.
Batu bara, nikel, bauksit, tembaga hingga minyak kelapa sawit harganya melonjak dan memberikan keuntungan bagi Indonesia. Bak durian runtuh, penerimaan baik dari pajak dan non pajak yang bersumber dari komoditas, Indonesia berhasil mengantongi Rp 420 triliun.
Dana itulah kemudian digeser ke masyarakat lewat pemberian subsidi energi. Meliputi BBM, listrik dan gas LPG 3 kg. Total yang dikeluarkan adalah Rp 502 triliun, terbagi atas pembayaran subsidi dan kompensasi terhadap BUMN yang telah menahan harga energi dua tahun sebelumnya.
Saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia bagaimana mengelola APBN di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini. Apalagi tantangannya inflasi yang kian meninggi, kenaikan suku bunga, hingga proyeksi pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan akan terbebani.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/sef) Next Article Duh! Inflasi Negara Ini Tembus 100%, Suku Bunga Naik Jadi 78%