Banyak 'Malapetaka' di Eropa, ECB Bakal Jadi Penyelamat?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
08 September 2022 12:25
Presiden Bank Sentral Eropa (ECB), Christine Lagarde.
Foto: Presiden Bank Sentral Eropa (ECB), Christine Lagarde. (Photo by JOHN THYS/AFP via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Eropa tengah menghadapi berbagai 'malapetaka' yang tiada habisnya. Inflasi tinggi menjadi ancaman utama, kemudian terjadi gelombang panas hingga kekeringan. Eropa akhirnya dihantui ancaman resesi ekonomi di tengah konflik perang yang tak kunjung mereda.

Beberapa waktu lalu Benua Biru ini tengah menghadapi kekeringan yang membuat beberapa aliran sungai dan danau menyusut akibat suhu yang sangat terik. Sementara, tekanan air dan panas "secara substansial mengurangi" hasil panen musim panas.

Selain itu, krisis energi juga semakin parah akibat kekeringan ini karena telah mengancam produksi nuklir serta menghadapi gangguan pada pembangkit listrik tenaga air di Negara Eropa Utara.

Perlu diketahui, saat ini pemerintah Eropa berebut untuk mengisi fasilitas penyimpanan bawah tanah dengan pasokan gas agar memiliki bahan bakar yang cukup. Ini untuk menjaga rumah tetap hangat selama beberapa bulan mendatang, karena masuknya musim dingin.

Kekhawatiran di Eropa telah meningkat saat ini setelah Rusia mengumumkan memperpanjang penutupan pipa gas utamanya ke Jerman. Tanpa batas waktu, Rusia menghentikan aliran melalui pipa Nord Stream 1 dan telah menutup pasokan di tiga pipa gas terbesar ke barat sejak seranganya ke Ukraina dimulai pada 24 Februari.

Ini mengancam jutaan penduduknya di tengah musim dingin yang sebentar lagi akan datang.

Krisis energi, PMI yang melandai, inflasi tinggi, dan pengetatan kebijakan moneter diperkirakan akan membuat ekonomi Eropa memburuk.

"Sekarang ini hal paling mendasar yang menjadi kekhawatiran pasar adalah lonjakan harga energi di Eropa, menurunnya permintaan di Eropa, serta kenaikan suku bunga acuan," tutur Phil Flynn, analis dari Price Futures Group, dikutip dariReuters.

Sebelumnya, minimnya pasokan gas sebenarnya telah memicu lonjakan 400% harga gas grosir selama tahun lalu. Ini telah melukai sektor-sektor intensif energi dari produksi logam hingga produksi pupuk di benua biru.

Inflasi meningkat mendekati level tertinggi dalam 50 tahun di 9,1% year-on-year (toy) pada Agustus dan tagihan energi warga melonjak mengikis daya beli rumah tangga. Hal itu meningkatkan tekanan kepada Bank Sentral Eropa (ECB) untuk menaikkan suku bunga yang lebih besar.

Tingginya tingkat inflasi tersebut disebabkan oleh kenaikan harga energi yang tetap tinggi, mencapai 38,3% dan kenaikan harga pangan sebesar 10,6%. Selain itu, harga jasa juga naik 3,8% dan barang industri non-energi naik sebesar 5%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Resesi Eropa Kian Nyata! Ini Buktinya!

Kekhawatiran resesi di Eropa kian nyata, kondisi ini membuat aktivitas ekonomi menurun. PMI Manufacturing zona Euro melandai menjadi 49,6 pada Agustus dari 49,8 untuk bulan Juli. Artinya, PMI zona Euro ini sudah keluar dari zona ekspansif selama dua bulan beruntun.

Pada akhirnya, pembuat kebijakan akan memilih perang melawan inflasi dengan menaikkan suku bunga jumbo pada setiap pertemuan yang tersisa tahun ini, mendorong naikknya biaya pinjaman untuk pemerintah, perusahaan, dan rumah tangga, bahkan ketika keuangan sudah menjadi lebih ketat.

Komisi Eropa untuk Ekonomi Paolo Gentilon dalam closing speech pada Bruegel Annual Meetings 2022, Rabu (7/9/2022), mengatakan 2022 menjadi tahun yang berat bagi Eropa.

"Kita mungkin akan menuju musim dingin paling menantang selama beberapa generasi. Semua alert menunjukkan warna merah mulai dari harga energi inflasi, sentimen ekonomi juga menuju arah yang salah," tutur Gentilon, dilansir dari website Komisi Eropa.

"Ketidakpastian masih sangat tinggi dan risiko resesi meningkat. Outlook ekonomi akan sangat tergantung pada kondisi pasar energi," imbuhnya.

Sebuah survei yang dirilis Senin (5/9/2022) menunjukkan krisis biaya hidup yang meningkat dan proyeksi yang suram membuat konsumen waspada terhadap pengeluaran. Zona Euro hampir pasti memasuki resesi.

Meskipun ada beberapa penurunan tekanan harga, menurut survei, nilainya tetap tinggi dan Bank Sentral Eropa (ECB) berada di bawah tekanan karena inflasi berjalan lebih cepat dari target 2%, mencapai rekor pada bulan lalu.

Dalam jajak pendapat Reuters minggu lalu, hampir setengah dari ekonom yang disurvei mengatakan mereka memperkirakan kenaikan suku bunga 75 basis poin (bps) yang belum pernah terjadi sebelumnya dari ECB minggu ini, sementara banyak juga yang memperkirakan kenaikan suku bunga 50 bps.

Sinyal ECB yang bakal agresif juga disampaikan oleh pejabatnya yaitu Isabel Schanabel dalam pidatonya di Simposium Tahunan Jackson Hole Wyoming.

Melansir CNBC International, Isabel memberikan clue bahwa inflasi di Zona Euro bisa tembus 10% sehingga kenaikan suku bunga acuan dengan besaran jumbo 75 bps sangatlah mungkin.

Kekhawatiran resesi saat ini sudah ada di depan mata seiring dengan inflasi yang perlu dikendalikan. Inflasi yang lebih tinggi akan makin membebani permintaan, menyeret turun pertumbuhan, dan mendorong zona euro ke dalam resesi musim dingin ini.

Kini, Eropa pun menghadapi prospek menaikkan suku bunga secara agresif saat ekonomi memasuki penurunan.

Saat ini kenaikan suku bunga diharapkan dapat memerangi inflasi dan menjaga nilai tukar euro. Akan tetapi sejumlah negara tampaknya ikut cemas atas potensi dampak negatif yang dapat membebani ekonomi dan mendorong ke jurang resesi. Memang resesi akan menyakitkan, tetapi masih lebih baik dibandingkan inflasi yang lepas kendali dan mendarah daging, perekonomian bisa mengalami kemerosotan dalam waktu yang panjang. 

Ketika resesi terjadi, dan diikuti dengan penurunan inflasi, maka perlahan-lahan perekonomian diharapkan bisa pulih kembali.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular