
Jokowi Pusing! Dunia 'Chaos', Masalah RI Makin Bejibun

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi dunia makin tak jelas. Perang Rusia - Ukraina yang terjadi telah memicu krisis energi dan pangan yang dikhawatirkan akan memicu lonjakan inflasi yang tak terkendali karena kurangnya pasokan barang.
Di sisi lain, inflasi merupakan 'musuh' bank sentral di berbagai belahan negara, apalagi di tengah pemulihan ekonomi. Saat inflasi bergerak liar, bank sentral akan menempuh kebijakan untuk meredam inflasi, tak terkecuali menyesuaikan tingkat bunga acuan.
Hal ini tentu akan menyebabkan volatilitas pasar keuangan global. Akan terjadi penarikan dana secara besar-besaran dan terjadi pelemahan nilai tukar rupiah secara drastis. Ujungnya, bahkan bisa menyebabkan lonjakan biaya utang.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan pengarahan dalam acara Sarasehan 100 Ekonom telah meminta masyarakat berkonsolidasi di tengah situasi dunia yang makin tak jelas karena perang yang memicu krisis pangan, energi, hingga finansial.
"Konsolidasi seperti itu yang harus kita bersama-sama lakukan karena perang, karena krisis energi, pangan, finansial dan bisa konsolidasi dari atas sampai ke bawah," kata Jokowi, seperti dikutip Kamis (8/9/2022).
Jokowi mengungkapkan instrumen fiskal dan moneter juga kadang bisa luput karena keadaan tidak normal. Hal ini juga dialami oleh semua negara. "Semua diuji karena geopolitik, karena global tidak jelas, sangat tidak jelas," sambung Jokowi. Dia menceritakan pengalamannya bertemu negara-negara G7 dan permasalahannya berputar di hal yang sama.
Jokowi menekankan, dunia memang saat ini sudah berubah dengan cepat, ditandai dengan pandemi Covid-19. Saat status pandemi belum sepenuhnya dicabut, muncul lagi masalah baru yang membuat situasi dunia semakin tidak pasti.
"Diteruskan karena perang, krisis energi, krisis pangan, krisis finansial yang paling bisa kita mengkonsolidasi dari atas sampai bawah karena saya meyakini landscape politik ekonomi akan berubah dan bergeser ke arah mana itu yang belum diketahui," kata Jokowi.
Jokowi mengakui dalam situasi sulit saat ini, instrumen yang dimiliki pemerintah sangat terbatas. Dibutuhkan pemikiran yang out of the box, agar Indonesia tidak terkena dari guncangan ketidakpastian ekonomi global.
"Dibutuhkan pemikiran yang Abu Nawas, yang kancil-kancil tapi memang harus seperti itu, bekerja juga tidak bisa makro saja, ditambah mikro juga belum dapat," kata Jokowi.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut Indonesia tidak akan bisa lepas dari sederet ancaman tersebut. Sri Mulyani menyebut situasi ini harus disikapi dengan nada optimisme meskipun tingkat kewaspadaan harus tetap dipertahankan.
"Guncangan ini bukan hal yang sepele. Ini adalah guncangan yang luar biasa tinggi," kata Sri Mulyani.
Situasi dunia yang tak jelas juga memberikan pengaruh terhadap penerimaan negara. Sri Mulyani mencantumkan target pertumbuhan penerimaan perpajakan sebesar 4,8% menjadi Rp 2.016,9 triliun dibandingkan outlook tahun ini Rp 1.924,9 triliun.
Meskipun tumbuh moderat, ini adalah kali pertama penerimaan pajak menyentuh kisaran Rp 2.000 triliun. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa ini penerimaan pajak ini telah kembali ke level pra-pandemi.
Dengan target ini, dia melihat penerimaan pajak harus bisa dinetralisir dengan pembiayaan. "Baseline penerimaan pajak relatif makin luas dan kuat, sehingga tak tergantung dengan shock yang sifatnya bisa mempengaruhi keseluruhan," ungkapnya.
Adapun tahun ini, Kementerian Keuangan mencatat pertumbuhan perpajakan bisa mencapai 24,4 persen menjadi Rp 1.924,9 triliun. Sementara itu, pemerintah mengantongi penerimaan pajak Rp 1.547,9 triliun pada 2021. Angkanya tumbuh 20,4% dari tahun 2020.
Rendahnya penerimaan tentu akan memberikan keterbatasan dalam belanja. Artinya pemerintah akan lebih selektif dalam realisasi belanja selain yang sudah diwajibkan, seperti anggaran pendidikan dan kesehatan serta pembayaran cicilan utang.
Apalagi penarikan utang secara agresif tentu bukan opsi yang tepat dalam kondisi sekarang dan tahun depan karena masih tingginya volatilitas. Di sisi lain defisit APBN tidak bisa lagi melewati level 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin mengarisbawahi risiko perlambatan di China, terutama bagi negara berkembang dan Indonesia. "US dampaknya ke berbagai negara, tetapi untuk negara-negara di Asean linkage ke Tiongkok juga signifikan sebagai trading partner dan source of FDI," tegasnya.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David E. Sumual mengungkapkan risiko yang membayangi ekonomi global masih berasal dari perang Rusia dan Ukraina.
David masih melihat harga komoditas tetap tinggi, meskipun beberapa harga barang mulai melandai, kecuali batu bara dan gas.
"Batu bara dan gas ini menjadi tantangan, dimana kelihatannya terkait dengan konflik yang masih terjadi, dimana Eropa masih meningkat ekspornya untuk gas dan batu bara," paparnya.
(cha/cha)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dunia Chaos Sampai Ekonomi 2023 Diprediksi Gelap, RI Siap?