
Xi Jinping Diam-Diam Surati Raja Salman, Ada Apa Arab-China?

Jakarta, CNBC Indonesia - China dan Arab Saudi tampaknya kian mesra. Kemarin, terungkap bahwa sebuah surat khusus telah dikirim Presiden China Xi Jinping ke Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz.
Surat diberikan ke Wakil Menteri Luar Negeri Waleed bin Abdulkarim Al-Khuraiji oleh Duta Besar China untuk Arab Saudi Chen Weiqing. Menurut media tersebut, Xi menggarisbawahi semakin dekatnya hubungan bilateral kedua negara.
"Hubungan bilateral yang solid dan erat yang menghubungkan kedua negara dan rakyat serta sarana untuk mengembangkannya di segala bidang," tulis media tersebut mengutip isi surat Xi, dilansir dari media Arab Saudi, SPA, Rabu (7/9/2022).
Sayangnya tak detail apa yang dibahas. Tapi dari sejumlah media Barat, kedekatan China dan Arab Saudi memang terpantau dekat beberapa bulan terakhir, meski kerajaan adalah sekutu lama Amerika Serikat (AS).
Pembelian Minyak
Mengutip Wall Street Journal, pada Maret lalu, Arab Saudi juga disebut sedang dalam pembicaraan aktif dengan China terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. Hal ini disebut sebagai langkah baru guna mengurangi dominasi dolar Amerika Serikat (AS) di pasar minyak global.
Pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Arab Saudi pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan kian gencar.
"Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya," tulis Wall Street Journal saat itu.
"Para pejabat Arab Saudi mengatakan mereka terkejut dengan penarikan mendadak AS dari Afghanistan tahun lalu," tambahnya.
China sendiri telah membeli lebih dari 25% minyak yang diekspor Arab Saudi. Jika dihargai dalam yuan, penjualan tersebut akan mendongkrak posisi mata uang China.
Arab Saudi juga mempertimbangkan untuk memasukkan kontrak berjangka berdenominasi yuan, yang dikenal sebagai petroyuan. China memperkenalkan kontrak minyak dengan harga yuan pada tahun 2018 sebagai bagian dari upayanya untuk membuat mata uangnya dapat diperdagangkan di seluruh dunia.
Menurut data dari Administrasi Umum Bea Cukai China, Arab Saudi adalah pemasok minyak mentah utama Tirai Bambu pada tahun 2021, disusul Rusia. Negara Islam itu menjual 1,76 juta barel per hari.
"Dinamika telah berubah secara dramatis. Hubungan AS dengan Arab Saudi telah berubah," kata seorang pejabat Saudi yang mengetahui pembicaraan tersebut.
"China adalah importir minyak mentah terbesar di dunia dan mereka menawarkan banyak insentif yang menguntungkan kepada kerajaan," tambahnya.
Selama ini pembelian minyak menggunakan sistem petrodolar. Ini merupakan sebuah kesepakatan berlaku pada transaksi perdagangan minyak dunia, di mana setiap pembelian minyak yang dilakukan hanya bisa menggunakan dolar sebagai mata uang pembayarannya.
Kerja Sama Senjata Balistik
Sementara itu, Arab Saudi juga disebut memproduksi rudal balistik dengan bantuan China. CNN International dan CNBC International melaporkan hal ini dari laporan badan intelijen Amerika Serikat (AS) di 2021.
Gambar satelit bahkan menunjukkan bahwa kerajaan tengah memproduksi rudal di sebuah lokasi. Mengutip pejabat AS, intelijen dikatakan mengungkap beberapa transfer skala besar teknologi rudal antar kedua negara.
Foto itu diambil oleh Planet, sebuah perusahaan pencitraan komersial, antara 26 Oktober dan 9 November tahun lalu. Operasi pembakaran terjadi di fasilitas dekat Dawadmi, Arab Saudi.
"Bukti kuncinya adalah bahwa fasilitas tersebut mengoperasikan 'lubang pembakaran' untuk membuang sisa propelan padat dari produksi rudal balistik," kata seorang ahli senjata dan profesor di Institut Studi Internasional Middlebury yang meninjau laporan tersebut Jeffrey Lewis, kala itu.
"Fasilitas produksi rudal propelan padat sering kali memiliki lubang pembakaran di mana sisa propelan dapat dibuang dengan cara dibakar."
Analis mengatakan fakta ini akan menjadi pekerjaan rumah baru buat Presiden AS Joe Biden. Apalagi Biden tengah fokus menahan pengembangan nuklir Iran.
"Sementara perhatian yang signifikan telah difokuskan pada program rudal balistik besar Iran, pengembangan Arab Saudi dan sekarang produksinya belum mendapat tingkat pengawasan yang sama," kata Lewis lagi.
"Produksi rudal balistik dalam negeri oleh Arab Saudi menunjukkan bahwa setiap upaya diplomatik untuk mengendalikan proliferasi rudal perlu juga melibatkan aktor regional lainnya. Seperti Arab Saudi dan Israel, yang memproduksi juga rudal balistik mereka sendiri".
Hal sama juga dikatakan ahli kebijakan nuklir dan senjata di Carnegie Endowment for International Peace, Ankit Panda. Program rudal Arab Saudi akan memperkenalkan tantangan baru untuk membatasi program rudal lainnya di kawasan itu.
"Sebagai contoh, rudal Iran, yang menjadi perhatian utama AS, akan lebih sulit dibatasi di masa depan tanpa paralel pada program Arab Saudi yang sedang berkembang," katanya.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tiba-Tiba Xi Jinping Kirim Surat ke Raja Salman, Ada Apa?
