BBM Naik Kok Subsidi Masih Bengkak Rp649 T? Ini Penjelasannya

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
06 September 2022 13:20
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara
Foto: Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengungkapkan belanja subsidi energi berpotensi meningkat dari Rp 502,4 triliun menjadi Rp 649 triliun di tahun ini, setelah adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan pertama kali pemerintah menganggarkan subsidi energi dalam APBN 2022 sebesar Rp 152,5 triliun. Melonjaknya harga minyak mentah di atas US$ 100 per barel di pasar dunia, membuat subsidi energi membengkak hingga Rp 502,4 triliun.

"Sekarang kita lihat tidak cukup Rp 502,4 triliun itu tidak cukup. [...] Kemudian Pak Presiden (Joko Widodo) sebagai upaya terakhir adalah perlu adanya pengalihan subsidi," jelas Suahasil saat ditemui di Gedung DPR, Senin (5/9/2022).



Cara mengalihkannya adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite, Solar. Juga BBM non bersubsidi Pertamax. Harga per liter Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000, Solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800, dan Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500.

Jika harga BBM tersebut di atas tidak dinaikan, kata Suahasil maka subsidi energi akan membengkak hingga Rp 698 triliun.

"Degan angka sekarang kalau kursnya Rp 14.750 (per dolar AS) dengan ICP-nya sekitar US$ 100 hingga US$ 105 per barel dengan kuota volume yang kita bayangkan Pertalite itu 29 juta kilo liter, dan Solar itu sekitar 17,4 juta kilo liter. Maka kebutuhan subsidi tahun 2022 masih di Rp 650 triliun, masih nambah dari yang Rp 502,4 kemarin walaupun BBM naik," jelas Suahasil.

Pemerintah mengklaim ada proses yang harus dilakukan dalam membelanjakan subsidi BBM ini. Pertama, badan usaha, dalam hal ini Pertamina akan menagihkan kompensasi kepada pemerintah. Besaran kompensasi ini tergantung dari volume BBM yang dikonsumsi oleh masyarakat.



Usai Pertamina melakukan penagihan, pemerintah tidak langsung membayar, melainkan dilakukan verifikasi terlebih dahulu bersama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Nanti BPKP periksa, betul gak ini? berapa yang disalurkan, berapa harganya, berapa MOPS-nya, berapa ICP-nya (harga minyak mentah Indonesia), detail banget itu," ujarnya.

Selanjutnya data-data yang diperiksa oleh BPKP disampaikan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Selanjutnya Kemenkeu bersama Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM melakukan rapat 3 menteri, untuk memeriksa hasil laporan BPKP.

"Setelah itu baru kemudian kita bisa melakukan pembayaran, nanti kalau sudah tutup tahun tanggal 31 Desember, tutup tahun seperti biasa, maka seluruh APBN-nya itu termasuk subsidi yang dibayarkan diaudit oleh BPK. Itu proses tata kelola dari subsidi dan kompensasi," tuturnya.



Mengutip situs web Kementerian ESDM, penggunaan MOPS atau Mean of Platts Singapore oleh pemerintah adalah untuk menentukan harga patokan harga BBM dalam negeri sudah tepat, hal ini didasari pada kondisi belum adanya harga pasar dalam negeri sehingga diperlukan acuan harga pasar terdekat (border price).

Perkembangan harga ICP, kata pemerintah akan terus dimonitor, karena suasana geopolitik dan proyeksi ekonomi dunia masih sangat dinamis.

Hingga saat ini, pemerintah, kata Suahasil terus memantau pergerakan harga ICP. Sebab, harga rata-rata ICP hingga Juli sebesar US$ 104,9 per barel. Jika harga ICP turun ke US$ 90 pada Agustus-Desember 2022, harga rata-rata satu tahun ICP adalah US$ 99. Kemudian, jika harga ICP turun hingga di bawah US$ 90 dolar, rata-rata ICP setahun masih pada kisaran US$ 97 dolar per barel.

Pemerintah akan membahas tambahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. "Prosesnya adalah pasti akan dibicarakan dengan DPR, ada pembicaraan dengan DPR," jelas Suahasil.


(cap/mij) Next Article Harga BBM Naik, Anggaran Subsidi Tetap Bengkak Jadi Rp650 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular