Harga BBM Naik, Masalah Indonesia Belum Selesai Bestie!

hadijah, CNBC Indonesia
06 September 2022 10:55
Kendaraaan mengisi BBM di salah satu SPBU Pertamina, Jakarta, Kamis (1/9/2022). PT Pertamina (Persero) resmi menurunkan tiga harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di seluruh provinsi mulai hari ini, Kamis, 1 September 2022. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Kendaraaan mengisi BBM di salah satu SPBU Pertamina, Jakarta, Kamis (1/9/2022). PT Pertamina (Persero) resmi menurunkan tiga harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di seluruh provinsi mulai hari ini, Kamis, 1 September 2022. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memang telah mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun, permasalahan yang akan dihadapi oleh masyarakat ke depannya tidak berhenti sampai di sini.

Efek kenaikan harga BBM akan menimbulkan penyesuaian harga transportasi, logistik, harga barang yang kemudian mendorong inflasi. Pada akhirnya, ketika inflasi di dalam negeri melangit, bank sentral Tanah Air harus menyesuaikan suku bunga acuannya.

Rambatan dari kebijakan moneter tersebut akan terasa pada bunga kredit, baik KPR ataupun kredit kendaraan. Mulai dari ekonom, analis pasar hingga pengusaha sudah menangkap peliknya efek samping ini.

Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Arsjad Rasyid menilai harga produk dan jasa tentu akan mengikuti peningkatan BBM dalam jangka pendek. Kondisi ini tidak bisa dihindari karena kebijakan peningkatan harga BBM juga mendorong meningkatnya komponen biaya produksi industri lainnya seperti, bahan baku, bahan penolong, biaya logistik dan distribusi, serta biaya lain-lain.

"Secara persentase kenaikan BBM bersubsidi pertalite sebesar 30% dan solar 32%. Dengan kontribusi BBM terhadap inflasi sebesar 4% pada Juli 2022, maka penyesuaian kenaikan harga produk sekitar 12-13% dari harga semula," papar Arsjad kepada CNBC Indonesia, Senin (6/9/2022).

Dia menambahkan sektor yang akan melakukan penyesuaian besar adalah transportasi dan logistik. Pasalnya, komponen biaya logistik di Indonesia dipengaruhi
oleh biaya transportasi, dimana biaya BBM berkontribusi 40%-50% terhadap biaya transportasi.

"Oleh karena itu, peningkatan BBM tentu akan langsung berdampak pada biaya transportasi yang pada akhirnya akan berdampak pada biaya logistik."

Senior Ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto memperkirakan kenaikan harga BBM subsidi akan berdampak signifikan terhadap inflasi. Mirae pun, menurutnya, merevisi ke atas proyeksi inflasi menjadi 7,13% setelah penyesuaian harga BBM subsidi.

"Keputusan pemerintah untuk meningkatkan Pertalite bersubsidi dan solar bersubsidi akan berdampak besar pada inflasi dan ekspektasi inflasi. Kenaikan harga BBM akan membawa tekanan ke atas pada administered price serta dampak putaran kedua pada inflasi inti. Setelah penyesuaian harga BBM bersubsidi, kami melihat inflasi headline bisa mencapai 7,13%," paparnya, Senin (5/9/2022).

Tingginya laju inflasi ini akan direspons Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan suku bunga acuan, 7-Day Reverse Repo Rate (7-DRR). Dia meyakini BI akan agresif dalam mengelola inflasi dan ekspektasi inflasi.

"Kami percaya bahwa kenaikan BI 7-Day Reverse Repo 25 bps (basis poin) pada rapat Dewan Gubernur BI berikutnya bulan ini (September) akan tepat, setelah kenaikan 25 bps Agustus untuk mengantisipasi peningkatan lebih lanjut pada inflasi inti dan ekspektasi inflasi," kata Rully.

Secara keseluruhan, Mirae melihat BI akan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps lagi, setelah kenaikan bulan ini menjadi 4,50%.

Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi mengungkapkan peluang BI menaikkan suku bunga acuan terbuka lebar. Dia memperkirakan kenaikannya setidaknya mencapai 100 bps menjadi 4.75%, lebih tinggi dari proyeksi awal 4.5%.

Hal ini dipicu oleh laju inflasi yang mengerek ekspektasi masyarakat. Lionel menuturkan Samuel Sekuritas melihat adanya risiko inflasi mencapai 6.5-7%.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo membenarkan bahwa kenaikan harga BBM akan mendorong inflasi melebihi kisaran sasarannya, yakni 4%. Oleh sebab itu, dampak lanjutannya ke harga barang lain (second round impact) dan ekspektasi inflasi perlu dimitigasi.

"Untuk ini, BI telah melakukan respons preemptive berupa normalisasi kebijakan moneter termasuk kenaikan suku bunga kebijakan pada RDG terakhir," ungkapnya, Senin (6/9/2022).

BI pun menargetkan inflasi pangan dapat berada di kisaran 5% dengan perbaikan pasokan, pemetaan surplus defisit yang lebih baik, kerjasama antar daerah dan operasi pasar yang lebih efektif. Dalam hal ini, BI akan terus bekerja sama dengan pemerintah.

Ke depannya, lanjut Dody, BI akan melakukan kalibrasi bauran kebijakan, termasuk suku bunga, terus dilakukan memitigasi risiko eksternal dan domestik, dengan besaran dan timing yang sesuai untuk memastikan stabilitas tetap terjaga dan pemulihan terus berlanjut.


(haa/haa) Next Article Dihantui Inflasi, BI: Menaikkan Suku Bunga Jadi Opsi Terakhir

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular