Jokowi Sampai Menyerah, Begini Loh Kacau Balaunya Dunia!

hadijah, CNBC Indonesia
05 September 2022 15:10
Konferensi Pers Kenaikan BBM Subsidi (Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Konferensi Pers Kenaikan BBM Subsidi (Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Semua negara di dunia tengah menghadapi guncangan ekonomi yang cukup besar. Bahkan, menurut IMF, lebih dari 60 negara berada dalam kondisi yang sangat rentan secara finansial.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin mengungkapkan risiko pandemi telah bergeser menjadi gejolak ekonomi.

Hal ini ditandai dengan inflasi global yang melonjak, pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga, potensi krisis utang global dan potensi stagflasi. Akibat hal ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi global terkoreksi cukup dalam.

IMF saja sudah memangkas proyeksi ekonomi global sebesar 0,4% tahun ini dan 0,7% pada tahun depan. Alhasil, ekonomi global hanya akan tumbuh 3,2% tahun ini dan 2,9% pada tahun depan.

"Jika dibandingkan dengan negara berkembang, revisi forecastnya lebih dalam di negara maju karena memang negara maju secara umum lebih sensitif perekonomiannya terhadap ekonomi global," kata Masyita.

Terbukti, AS dan China saat ini dihadapkan dengan potensi perlambatan ekonomi. Untuk AS, Masyita melihat potensi resesi tidak signifikan karena dari data non-farm payroll di Negeri Paman Sam masih bergeliat.

Namun, dia mengarisbawahi risiko perlambatan di China, terutama bagi negara berkembang dan Indonesia. "US dampaknya ke berbagai negara, tetapi untuk negara-negara di Asean linkage ke Tiongkok juga signifikan sebagai trading partner dan source of FDI," tegasnya.

Sementara itu, dari data yang dikumpulkan Kemenkeu, negara-negara maju di G20 - Prancis, AS, Inggris - menghadapi defisit transaksi berjalan yang cukup dalam selama tahun lalu.

Bahkan, AS mencetak defisit transaksi berjalan hingga 3,5% terhadap PDB. Dari perhitungan defisit fiskal, AS, Kanada dan Prancis mencatatkan akumulasi defisit di atas 10% untuk periode 2020 hingga 2021.

Terbesar dibukukan oleh AS sebesar 24,7%, kemudian India 23,1%. Defisit fiskal Kanada dan Prancis masing-masing 16,1%. Negara-negara G20 juga mengalami lonjakan utang yang cukup signifikan selama pandemi. Posisi pertama ditempati oleh Jepang dengan rasio utang terhadap PDB yang mencapai 263,1%, disusul Italia 150,9% dan AS 132,6%.

Kepala Ekonom Bank Central Asia David E. Sumual mengungkapkan risiko yang membayangi ekonomi global masih berasal dari perang Rusia dan Ukraina.

David masih melihat harga komoditas tetap tinggi, meskipun beberapa harga barang mulai melandai, kecuali batu bara dan gas.

"Batu bara dan gas ini menjadi tantangan, dimana kelihatannya terkait dengan konflik yang masih terjadi, dimana Eropa masih meningkat ekspornya untuk gas dan batu bara," paparnya.

Risiko selanjutnya adalah inflasi yang tinggi. Negara maju, menurutnya, mencetak rekor inflasi yang tertinggi dalam 30-40 tahun. Sejalan dengan naiknya inflasi, kepercayaan dalam hubungan antar negara mengalami penurunan.

"Di masa economic war, ini memang trust-nya yang terganggu kelihatannya," ungkap David.

Di tengah besarnya guncangan tersebut, Indonesia akhirnya menyerah. APBN pemerintah tidak lagi sanggup untuk menahan tingginya harga minyak global.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), jenis Pertalite, Solar dan Pertamax pada Sabtu (3/9/2022).

"Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia," kata Jokowi.

"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah yaitu mengalihkan subsidi BBM, sehingga harga jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian," tambahnya.


(haa/haa) Next Article Tegas! Jokowi Sebut BBM Harus Naik, Sindir Menteri Tak Empati

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular