Gawat! BI Bilang Ada 5 Isu Kritis di Kancah Global
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan lima tantangan besar di tataran ekonomi global saat ini dan ke depannya.
Direktur dan Kepala Grup Departemen Kebijakan Internasional International BI Haris Munandar membeberkan lima risiko terkini di kancah internasional. Menurutnya, pergerakan di global ini beberapa sangat ekstrem dan signifikan.
Pertama, menurutnya, perekonomian global tengah mengalami tekanan meningkat, baik inflasi dan resesi.
"Sejumlah negara melakukan respons, kalau di makroekonomi, terutama moneter, beberapa sangat agresif terutama Federal Reserve, Bank of England dan European Central Bank dan kita melihat ini masih berlangsung paling tidak sampai akhir tahun," paparnya dalam Webinar ISEI Jakarta dengan tema 'Indonesia dan Presidensi G20: Perkembangan Terkini, Prospek dan Relavansi', Senin (5/9/2022).
Inflasi di negara-negara maju memang sudah sangat tinggi. Di Inggris, inflasi saat ini sudah mencapai 11% dan ada proyeksi akan mencapai 18% pada akhir 2022.
Sementara itu, inflasi AS sudah mencapai kisaran 8%. The Fed sendiri akan berupaya untuk menurunkan inflasi hingga kisaran 5-6%.
"Dan FFR walaupun sudah 2,5%, masih diprediksi sampai 4% atau lebih tinggi."
Kedua, krisis pangan global yang diakibatkan kebijakan proteksionisme. Dalam catatan BI, setidaknya ada 35 negara yang melakukan restriksi pangan.
"Kita lihat food protectionism yang awalnya akibat supply constraint, efek dari Rusia dan Ukraina ini mulai mereda. Ini patut kita syukuri, walaupun harganya masih tinggi," ujarnya.
Harga gandum sudah berangsur turun sejak akhir Juni. Hal ini dipicu oleh adanya kesepakatan antara PBB, Ukraina dan Rusia untuk membuka 3 pelabuhan utama di Ukraina. "Ini menyebabkan harga gandum turun, meskipun turunnya terbatas."
Ketiga, pengetatan kebijakan moneter di negara maju dan berkembang. Menurut Haris, pengetatan bank sentral negara maju cukup agresif.
Kondisi ini akan mempengaruhi negara berkembang, termasuk Indonesia. Adapun, bank sentral AS, Inggris, Kanada serta Australia telah menaikkan hingga 100 bps, bahkan lebih. Keempat, di sisi regional, tekanan inflasi tinggi mulai bermunculan di Asean.
Haris mengungkapkan tekanan harga ini muncul akibat kombinasi dari empat hal, yakni kenaikan harga energi, harga pangan, disrupsi pasokan dari pertumbuhan ekonomi dan depresiasi nilai tukar. Hal terakhir ini menimbulkan imported inflation yang akhirnya menaikkan inflasi inti.
Kelima, Haris melihat perekonomian global akan tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. IMF pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,9% dengan rincian negara maju 2,5% dan negara berkembang 3,1%.
"Ini jangka menengah nantinya bisa di-price in ke kebijakan moneter dan ekonomi yang lain," katanya. Potensi ini, kata Haris, harus disikapi oleh semua negara di dunia, termasuk di dalam G20.
(haa/haa)