Pertalite Naik di Saat Yang Tidak Tepat, RI Bisa Stagflasi!

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
03 September 2022 16:30
Bhima Yudhistira/Youtube
Foto: Bhima Yudhistira/Youtube

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga Pertalite, solar subsidi, hingga Pertamax non-subsidi. Namun, pengamat menilai kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis Pertalite.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter.

Dampaknya, Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja.

"BBM bukan sekedar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga ke hampir semua sektor terdampak. Misalnya harga pengiriman bahan pangan akan naik di saat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk," jelasnya, Sabtu (3/9/2022). 

Menurutnya, inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55% year on year, bakal makin tinggi. Diperkirakan inflasi pangan kembali menyentuh dobel digit atau di atas 10% per tahun pada September ini.

Sementara inflasi umum diperkirakan menembus di level 7-7,5% hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif.

"Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali kali, belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman," ujarnya. 

Bhima mengatakan masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya.

"Karena BBM ini kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak," jelasnya. 

Ia melanjutkan, pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko mengambil jalan pintas dengan melakukan PHK massal.

"Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya-biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali di bawah 50," jelasnya. 

Sedangkan bansos yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu 4 bulan, tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM.

"Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga Rp 7.650 per liter, sekarang harga Rp 10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin," jelasnya. 

Menurutnya, data orang rentan miskin ini sangat mungkin tidak tercover dalam BLT BBM karena adanya penambahan orang miskin pasca kebijakan BBM subsidi naik. Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat.

"Alih-alih melakukan pembatasan dengan menyasar pengguna solar misalnya yang selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar tapi cara pemerintah justru mengambil langkah naikkan harga BBM subsidi. Kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif!," jelasnya. 

Selain itu, tujuan utama untuk membatasi konsumsi Pertalite subsidi juga tidak akan tercapai, ketika di saat bersamaan harga Pertamax ikut naik menjadi Rp 14.500 per liter.

"Akibatnya pengguna Pertamax akan tetap bergeser ke Pertalite," pungkasnya. 


(vap/vap) Next Article Harga BBM Naik, Jokowi: Ini Pilihan Sulit dan Terakhir

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular