Inggris Makin Ngeri, Data Ini Tunjukkan Krisis Makin Jadi
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis biaya hidup yang terjadi di Inggris diprediksi semakin parah. Didorong oleh kenaikan harga energi, sebuah laporan menyebut bahwa inflasi di Negeri Ratu Elizabeth itu dapat menyentuh 22%.
Dalam sebuah rilis Goldman Sachs, lembaga keuangan itu memperkirakan inflasi utama dapat mencapai puncaknya pada 22,4% dan produk domestik bruto dapat turun sebesar 3,4%. Ini akan terjadi apabila biaya energi terus meningkat pada ritme seperti saat ini.
Regulator energi Inggris mengumumkan Jumat bahwa mereka akan menaikkan batas utamanya pada tagihan energi konsumen mulai 1 Oktober untuk mengimbangi kenaikan harga gas grosir. Diketahui, harga gas grosir gas telah melonjak 145% di Inggris sejak awal Juli.
Ofgem berjanji akan menghitung ulang batas harganya lagi dalam tiga bulan. Namun, Goldman mengatakan bahwa jika harga tetap terus-menerus lebih tinggi, kenaikannya mungkin dapat mencapai 80% pada Januari mendatang.
"Dalam skenario di mana harga gas tetap tinggi pada level saat ini, kami memperkirakan batas harga akan meningkat lebih dari 80% pada Januari ... yang akan menyiratkan inflasi utama memuncak pada 22,4%," kata ekonom Goldman, yang dipimpin oleh Sven Jari Stehn, dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Selasa (30/8/2022).
Meski begitu, Goldman juga memberikan perhitungan apabila harga energi tidak melonjak kembali. Mereka mengatakan bila ini terjadi, inflasi puncak Inggris kemungkinan akan mencapai 14,8% pada Januari.
Lembaga keuangan itu juga mengatakan bahwa Inggris kemungkinan akan jatuh ke dalam resesi pada kuartal keempat. Diperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan berkontraksi sebesar -0,3% secara non-tahunan pada kuartal keempat tahun ini.
Di tahun depan, Goldman juga mengatakan tetap akan terjadi resesi -0,4% dan -0,3% pada kuartal pertama dan kedua. "Kami sekarang memperkirakan krisis biaya hidup yang semakin dalam akan mendorong ekonomi Inggris ke dalam resesi akhir tahun ini," kata catatan itu.
(sef/sef)