Airlangga Beberkan 3 Masalah Ekonomi Paling Krusial di Asean

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
Selasa, 30/08/2022 17:40 WIB
Foto: Airlangga Hartanto dalam Kuliah Umum Indonesia, Singapore, ASEAN and the New Asian Landscape. (CNBC Indonesia/Wahyu Daniel P)

Jakarta, CNBC Indonesia - Selepas bencana Covid-19, tantangan ekonomi bagi negara-negara di Asia Tenggara (Asean) masih cukup besar ke depannya.

Salah satu yang paling krusial adalah masalah pertumbuhan ekonomi dan angka kemiskinan.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan yang memberikan kuliah umum di Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Senin (29/8/2022).


Menurut Airlangga, negara-negara anggota ASEAN harus berani melaksanakan reformasi domestik untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif.

Beberapa negara di Asean telah mampu mencapai angka pertumbuhan PDB yang mengesankan dalam dua dekade terakhir, namun kinerja ini harus dibayar dengan meningkatnya ketidaksetaraan pendapatan dalam masyarakat mereka.

"Merebaknya Covid-19 telah memperburuk ketidaksetaraan di Asean," ungkap Airlangga, dalam kuliah umum yang digelar di Park Royal Collection Marina Bay, Singapura, Senin (29/8/2022).

Mengutip laporan Asian Development Bank (ADB) yang dirilis pada Maret tahun ini, sebanyak 4,7 juta orang di Asia Tenggara terjerumus ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2021 akibat pandemi.

Berdasarkan definisi ADB tentang kemiskinan ekstrem, orang-orang ini bertahan hidup dengan kurang dari US$1,51 per hari.

Kondisi ini diperparah dengan hilangnya lebih dari 9,3 juta pekerjaan di Asia Tenggara. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan skenario dasar tanpa Covid-19.

Dengan terhambatnya penciptaan lapangan kerja, pendapatan turun lebih jauh, kelompok termiskin terkena dampak paling parah.

Sebuah survei tahun 2020 yang dilakukan di negara-negara berkembang di kawasan Asean oleh ADB Institute menemukan bahwa 50% rumah tangga hanya memiliki sumber keuangan yang cukup untuk menutupi pengeluaran mereka selama satu bulan.

"Temuan ini menunjukkan bahwa Asean memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa saat kita keluar dari pandemi, semua orang dapat memperoleh manfaat yang sama dari rebound pertumbuhan ekonomi," ungkap Airlangga.

Oleh karena it, dia menilai pertumbuhan PDB yang tinggi tidak ada gunanya jika pertumbuhan tidak inklusif dan kemakmuran tidak dinikmati secara merata.

Pandemi, menurut Airlangga, sebenarnya menawarkan kesempatan bagi negara-negara Asean untuk mengatur ulang dan memikirkan kembali reformasi domestik yang dapat membantu mengatasi ketimpangan pendapatan.

Salah satunya bisa dijalankan melalui kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan yang dapat diterapkan untuk membantu pekerja berupah rendah dalam meningkatkan keterampilan mereka sendiri

Alhasil, para pekerja ini dapat menemukan pekerjaan di industri bernilai tambah tinggi yang telah berkembang pesat dengan pertumbuhan teknologi.

Sebagai catatan, kebijakan ini telah ditempuh oleh Indonesia melalui Kartu Prakerja.

Program Kartu Prakerja adalah program pengembangan kompetensi kerja dan kewirausahaan yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja, dan/atau pekerja/buruh yang membutuhkan peningkatan kompetensi, termasuk pelaku usaha mikro dan kecil.

Selama pandemi, program ini diarahkan tidak hanya sebagaii program reskilling dan upskilling, tetapi juga dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sosial dengan menyasar pekerja atau buruh yang terkena PHK.

Selain masalah lapangan kerja dan kemiskinan, Airlangga mengingatkan kelemahan kawasan yang harus diatasi, yaitu kurangnya infrastruktur berkualitas di Asean.

Dia melihat kendala infrastruktur telah terlalu lama mengganggu potensi pembangunan ekonomi di Asia.

"Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan infrastruktur di Asia terpukul keras oleh pandemi. Proyek tertunda karena tenaga kerja yang tidak mencukupi dan pembiayaan pemerintah difokuskan pada langkah-langkah fiskal untuk menstabilkan permintaan ekonomi," ujar Airlangga.

Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan bahwa Asia Tenggara sendiri berjuang dengan kesenjangan pembiayaan infrastruktur tahunan sebesar 3,8-4,1% dari PDB, setara dengan US$114-127 miliar per tahun.

Dengan efek terburuk dari pandemi yang sekarang mereda, pembangunan infrastruktur harus kembali ke garis depan prioritas pemerintah karena ini berimplikasi penting bagi ekonomi di Asean.

Sebenarnya, Airlangga melihat ada banyak ruang untuk peningkatan investasi infrastruktur.

Dia menambahkan Indonesia telah memberikan contoh yang baik untuk diikuti oleh negara-negara Asean lainnya, yakni mendorong pembangunan infrastruktur melalui kerja sama pemerintah-swasta (PPP).

Mantan menteri perindustrian ini mengungkapkan bahwa untuk waktu yang lama, Indonesia menderita masalah konektivitas utama. Namun, Presiden Jokowi telah mendorong secara agresif penggunaan kerja sama pemerintah-swasta (PPP) untuk mempercepat proyek infrastruktur. Salah satu proyek PPP yang dicontohkan Airlangga adalah jalan tol Trans-Sumatra senilai US$33,2 miliar, yang menghubungkan provinsi-provinsi di Sumatera.

Berkaca dari megaproyek ini, Airlangga yakin Asean memiliki peluang untuk mengubah tantangan menjadi kekuatan.

Di tengah semakin intensifnya kontestasi kekuatan besar di kawasan, dan ketegangan geopolitik global, Airlangga juga mengingatkan pentingnya integrasi ekonomi di Asean.

"Ketika faktor permintaan eksternal tidak dapat diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kita, kita harus berbalik ke dalam dan mencari cara untuk lebih meningkatkan ikatan perdagangan yang ada di dalam blok tersebut," katanya.

Dengan melakukan hal ini, dia yakin ekonomi ASEAN bisa lebih tangguh dan mampu bertahan dari tantangan ekonomi global.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Tantangan Pendanaan Infrastruktur Kian Nyata Bagi RI