Nahloh! DPR Pertanyakan Klaim Pertamax Sebagai BBM Subsidi
Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika meluruskan dan menilai bahwa penyebutan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax sebagai barang subsidi kurang tepat. Pasalnya, APBN hanya membayar apa yang sudah ditetapkan dalam undang-undang APBN.
Sementara, Pertamax sendiri tidak masuk di dalam APBN yang disubsidi. Sehingga jika Pertamax dijual lebih rendah dari harga pasar, maka hal tersebut tidak masuk di dalam APBN.
"Jadi kita harus mengedukasi masyarakat yang dimaksud disubsidi itu apa. Pertamax kan masih di bawah keekonomian. Jadi misleading itu, karena APBN hanya membiayai yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Pertamax sendiri gak masuk," ujar Kardaya kepada CNBC Indonesia dalam Energy Corner, Senin (29/8/2022).
Adapun jika memang benar Pertamax ternyata masuk di dalam APBN, maka pemerintah sendiri artinya telah melanggar undang-undang. Namun yang pasti, kebijakan untuk menahan kenaikan harga BBM jenis Pertamax tentunya berdampak pada kondisi keuangan Pertamina bukan pemerintah.
"Pertamina ikut mensubsidi jadi bukan pemerintah. Nah ini yang harus clear karena Pertamina ikut subsidi maka bertentangan dengan UU BUMN yakni mencari profit," ujarnya.
Menteri BUMN Erick Thohir sebelumnya membeberkan bahwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax menjadi salah satu BBM yang ikut disubsidi oleh pemerintah. Alasannya, harga BBM Pertamax tersebut dijual di bawah harga keekonomiannya.
Seperti diketahui, harga BBM Pertamax yang dijual di SPBU PT Pertamina (Persero) saat ini memang masih di bawah keekonomian atau hanya Rp 12.500 per liter. Sementara kata Erick, kalau mau melihat harga keekonomian bisa dilihat dari BBM Shell dengan spesifikasi RON 92.
Di mana spesifikasi RON 92 milik Shell di banderol seharga Rp 17.000-an per liternya. "Jadi Pertamax pun sebenarnya disubsidi oleh pemerintah. Nah ini salah satu menjadi catatan yang cukup menggelitik kalau misalnya kita mengisi bensin Pertamax kok harganya bisa murah sebenarnya itu subsidi," pungkasnya.
Asal tahu saja, saat ini subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 mencapai Rp 502,4 triliun. Membengkaknya jumlah subsidi itu terjadi karena harga minyak yang ditetapkan pada tahun ini yakni US$ 63 per barel jauh lebih rendah dengan harga minyak di pasar internasional yang di atas US$ 100 per barel.
Anggaran subsidi energi dalam APBN tahun 2023 ditetapkan mencapai Rp 210,6 triliun lebih kecil ketimbang tahun 2022 ini. Hal ini karena pemerintah menaikkan asumsi makro harga minyak mentah dari yang saat ini US$ 63 per barel menjadi US$ 90 per barel pada tahun depan.
"Anggaran US$ 63 per barel kemudian menjadi US$ 93. Artinya pemerintah tidak menghilangkan subsidi, yang dilakukan adalah pengurangan subsidi," tutur Erick.
(pgr/pgr)