Indonesia Perlu Ubah Rp 1.000 Jadi Rp 1, Kapan Bisa Dimulai?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memastikan upaya penyederhanaan nominal mata uang atau redenominasi akan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Salah satu yang paling nyata adalah efisiensi.
Hal ini diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang juga merupakan Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dalam konferensi pers, pekan lalu.
"Redenominasi dari sisi ekonominya ada banyak manfaat, dari redenominasi terutama masalah efisiensi," ujarnya.
"Dengan nol tiga (dikurangi) efisiensi ekonomi akan meningkat. Berapa efek dari digit dari teknologi, penggunaan teknologi perbankan dan pembayaran sangat efektif," terang Perry.
Dengan jumlah nol yang kini sangat banyak, aktivitas transaksi menjadi sangat lambat. "Tanpa nol tiga, penyelesaian transaksi akan lebih cepat," paparnya.
Namun untuk implementasi, redenominasi harus dilakukan dalam situasi normal. "Pesannya, kondisinya harus normal karena negara lain melakukannya dalam kondisi normal," ungkap Perry.
"Jangan dilakukan pada saat krisis atau panas badan, kalau lagi kuat dan tenang baru dilakukan," jelasnya.
Wacana redenominasi sudah bergulir cukup lama. RUU Redenominasi Rupiah sebenarnya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Namun, hingga saat ini, tidak ada progresnya.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi XI Muhamad Misbakhun menilai saat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan redenominasi rupiah.
Jika redenominasi harus menunggu stabilitas ekonomi, Misbakhun yakin secara teoritas, kondisi stabil tidak dapat dicapai dengan kondisi geopolitik saat ini.
"Justru sekarang adalah momentum terbaik, to show to the world, di saat dunia dilanda resesi," ungkapnya dalam Profit, CNBC Indonesia.
Menurutnya, di saat negara-negara dunia dilanda kenaikan defisit, Indonesia mampu mengelola defisit di bawah 10%.
Begitu pula kondisi hiperinflasi global, laju inflasi Indonesia masih terbilang rendah. "Ingat kita dulu kita punya pertumbuhan 6-7% tetapi inflasinya di atas 7%. Sekarang inflasi tahun lalu masih 1,57%," paparnya.
Terkait dengan kondisi pemulihan ekonomi, dia menegaskan fundamental ekonomi Indonesia cukup baik. Pasalnya, dia melihat cadangan devisa Indonesia kuat. Kemudian, ada koordinasi solid antara fiskal dan moneter, serta likuiditas tetap terjaga.
Sejalan dengan kondisi itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh positif. "Ini tidak terjadi di manapun di dunia. Cerita sukses mana yang harus kita contohkan," kata Misbakhun.
(mij/mij)