Beda Pandang BI, DPR & Ekonom Soal Rp 1.000 Diganti Rp 1

Redaksi, CNBC Indonesia
25 August 2022 15:05
3 Angka Nol di Uang Baru Rupiah Hilang, Jadi Redenominasi? Ini Penjelasannya
Foto: CNBC Indonesia TV

Jakarta, CNBC Indonesia - Redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang kini menjadi perbincangan hangat di publik. Rencana yang sudah lama terkubur ini bangkit dan mengundang perbedaan pandangan bagi berbagai pihak.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan rencana redenominasi tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Menyederhanakan pecahan dengan menghilangkan sejumlah angka seperti Rp 1.000 menjadi Rp 1 harus dilakukan dalam situasi normal.

"Pesannya, kondisinya harus normal karena negara lain melakukannya dalam kondisi normal," ungkap Perry dalam konferensi pers, Rabu (24/8/2022)

Perry yang juga sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menambahkan, dengan situasi normal maka redenominasi bisa terhindar dari kepanikan masyarakat. "Jangan dilakukan pada saat krisis atau panas badan, kalau lagi kuat dan tenang baru dilakukan," jelasnya.

Wacana redenominasi sudah bergulir cukup lama. RUU Redenominasi Rupiah sebenarnya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Namun, hingga saat ini, tidak ada progresnya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi XI Mukhamad Misbakhun menilai saat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan redenominasi rupiah.

Jika redenominasi harus menunggu stabilitas ekonomi, Misbakhun yakin secara teoritis, kondisi stabil tidak dapat dicapai dengan kondisi geopolitik saat ini.

"Justru sekarang adalah momentum terbaik, to show to the world, di saat dunia dilanda resesi," ungkapnya dalam Profit, CNBC Indonesia.

Menurutnya, di saat negara-negara dunia dilanda kenaikan defisit, Indonesia mampu mengelola defisit di bawah 10%.

Begitu pula kondisi hiperinflasi global, laju inflasi Indonesia masih terbilang rendah. "Ingat kita dulu kita punya pertumbuhan 6-7% tetapi inflasinya di atas 7%. Sekarang inflasi tahun lalu masih 1,57%," paparnya.

Terkait dengan kondisi pemulihan ekonomi, dia menegaskan fundamental ekonomi Indonesia cukup baik. Pasalnya, dia melihat cadangan devisa Indonesia kuat. Kemudian, ada koordinasi solid antara fiskal dan moneter, serta likuiditas tetap terjaga.

Sejalan dengan kondisi itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh positif. "Ini tidak terjadi di manapun di dunia. Cerita sukses mana yang harus kita contohkan," kata Misbakhun.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan redenominasi belum tepat jika dilakukan dalam 2-3 tahun ke depan. Beberapa pertimbangan sebelum lakukan redenominasi yakni stabilitas inflasi harus terjaga.

"Pertimbangan utama adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi karena perubahan nominal uang mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan pembulatan nilai ke atas," ungkap Bhima.

Misalnya, harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp9.200, kemudian tidak mungkin menjadi Rp9,5 setelah redenominasi. "Yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp10. Ada pembulatan nominal baru ke atas," sambungnya.

Akibatnya, harga barang akan naik signifikan. Kondisi ini dikhawatirkan akan sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. "Akibatnya apa? hiperinflasi bahkan bisa mengakibatkan krisis kalau tidak hati-hati," katanya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tiga Nol di Rupiah Versi Baru Hilang, Tanda Mau Redenominasi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular