Jokowi Cantumkan Pasal Darurat di RAPBN 2023, Loh Kenapa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2023 sudah disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2023 dirancang sebesar Rp 598 triliun atau 2,85% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Belanja negara dipatok sebesar Rp 3.041,7 triliun. Meliputi belanja pemerintah pusat Rp 2.230 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp 811,7 triliun. Khususnya untuk belanja subsidi direncanakan Rp 297,1 triliun, dengan mayoritas energi.
Sementara itu pendapatan negara diperkirakan Rp 2.443,5 triliun, didominasi oleh penerimaan perpajakan yang sebesar Rp 2.016,9 triliun.
"Defisit anggaran tahun 2023 direncanakan sebesar 2,85% terhadap PDB atau Rp598,2 triliun. Defisit anggaran tahun 2023 merupakan tahun pertama kita kembali ke defisit maksimal 3% terhadap PDB," ungkap Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR/DPR, Selasa (16/8/2022)
Mengingat kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian, pemerintah memasang pasal darurat dalam RUU APBN 2023.
"Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan langkah antisipasi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi pasal 46.
Disampaikan, pada ayat berikutnya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan keputusan yang tertuang di dalam kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah, yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
"Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah antisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Beberapa indikator yang dimaksud keadaan darurat adalah :
- proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
- proyeksi penurunan pendapatan negara dan/atau meningkatnya belanja negara secara signifikan;
- kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara signifikan; dan/atau
- belum berakhirnya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berdampak pada menurunnya kesehatan masyarakat dan mengancam perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
(mij/mij)