Internasional
Lapor, Mr Putin... Ekonomi Rusia Diramal -5%, Resesi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Jajak pendapat Reuters menyatakan bahwa para analis telah memangkas perkiraan inflasi Rusia tahun ini. Bank sentral Rusia memiliki ruang untuk memangkas suku bunga acuan, sehingga akan mempengaruhi laju inflasi.
Ekonomi Rusia telah berubah drastis setelah serangan ke Ukraina pada 24 Februari lalu. Kondisi ini memicu sanksi dari negara-negara di Eropa di sektor energi dan keuangan Rusia, termasuk pula pembekuan cadangan devisa sehingga membuat sejumlah perusahaan keluar dari pasar.
Sebelum konflik antara Rusia-Ukraina dimulai akhir Februari lalu, cadangan devisa Rusia mencapai US$ 643 miliar. Tetapi saat ini cadangan devisa Rusia mulai tergerus akibat dampak perang dan nilainya turun tipis menjadi US$ 617 miliar.
Rusia telah bertahun-tahun menyimpan 'rezeki nomplok' dari pendapatan energi dalam bentuk cadangan devisa, yang nilainya mencapai US$ 643,2 miliar beberapa hari sebelum perang meletus. Keputusan tersebut juga merupakan upaya untuk mengurangi eksposur terhadap mata uang AS.
Berdasarkan data 17 analis yang disurvei oleh Reuters menyatakan bahwa ekonomi Rusia diperkirakan menyusut sebesar 5% tahun ini. Sebelumnya, diperkirakan terjadi kontraksi 7,1%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ekonomi Rusia memenuhi definisi resesi yang umum digunakan-dua kuartal berturut-turut dengan penurunan output ekonomi.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi memang terlihat pesimis karena pejabat Rusia melihat penurunan dari berbagai indikator makro ekonomi diantaranya output industri, pendapatan riil yang dapat dibelanjakan, penjualan ritel, dan tingkat pengangguran.
Omset perdagangan ritel Rusia tercatat turun hingga 9,6% pada Juni. Kondisi ini dipicu oleh persoalan logistik, gangguan rantai pasok dan daya beli konsumen yang berkurang.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) yang dikutip AFP, ekonomi Rusia mampu bertahan dari 'badai' sanksi dengan baik. Alasannya, melambungnya harga energi telah menjadi penyelamat Negeri Beruang Merah.
Adapun, harga minyak mentah mengawali tahun ini di bawah US$ 80 per barel dan tiba-tiba melonjak hampir mencapai US$ 129 per barel pada Maret sebelum sedikit melandai ke level US$ 105 per barel. Tak hanya itu, harga gas pun terus naik dan mendekati rekor baru. Hal itu juga diperkuat oleh permintaan domestik yang masih tinggi.
Pada April lalu, Kementerian Ekonomi Rusia mengatakan produk domestik bruto (PDB) Rusia bisa turun lebih dari 12% tahun ini. Namun perkiraan telah direvisi sejak Rusia mendorong kembali pembatasan terhadap negaranya.
Sejak itu, rubel melonjak ke level tertinggi lebih dari tujuh tahun pada akhir Juni. Hal ini didukung oleh kontrol modal yang diperkenalkan Moskow untuk melindungi sistem keuangannya dari sanksi serta adanya surplus negara berjalan Rusia yang terbilang masih kuat karena tingginya harga untuk ekspor komoditas dan penurunan impor.
Namun nyatanya rubel tak bertahan lama menguat. Beberapa bulan belakangan rubel melemah karena pemerintah diperkirakan akan mengambil langkah-langkah untuk mengekang kekuatannya.
Rubel diperkirakan akan diperdagangkan pada US$ 75/RUB dolar AS dalam satu tahun dari sekarang.
Jebloknya rubel membuat inflasi meroket, dan bank sentral Rusia mengerek suku bunga dari 9,5% menjadi 20%. Ditambah dengan kebijakan capital control dari pemerintah di bawah pimpinan Presiden Vladimir Putin, serta pendapatan yang tinggi dari komoditas energi membuat rubel berbalik menjadi mata uang terbaik di dunia. Inflasi pun melandai.