Kenapa Biden-Yellen-Powell Ogah Akui AS Resesi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi yang dialami Amerika Serikat (AS) kian nyata. Namun baik Presiden AS Joe Biden, Menteri Keuangan AS Janet Yellen, hingga Gubernur Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell menolak percaya hal tersebut.
Hal ini ditegaskan ketiganya baik sebelum data PDB kuartal II-2022 rilis maupun setelah. "Kami tidak akan berada dalam resesi dalam pandangan saya," kata Biden kepada wartawan awal pekan ini.
Powell juga mengatakan tak percaya ekonomi AS berada dalam resesi. Ia juga yakin negara itu dapat menghindarinya perlambatan ekonomi tersebut, bahkan secara agresif memerangi inflasi.
"Kami mencoba melakukan dengan tepat. Kami tidak 'mencoba' untuk membuat munculnya resesi dan kami pikir kami tidak harus melakukannya," kata Powell kepada wartawan setelah keputusan Fed untuk menaikkan suku bunga acuan 75 bps menjadi 2,25% hingga 2,5%, dikutip AFP Rabu, sehari sebelum data PDB terbaru dirilis.
Setelah data baru keluar, Yellen pun menolak negaranya disebut resesi kendati ekonomi AS terbukti terkontraksi. Ia mengatakan ekonomi AS berada dalam keadaan transisi, bukan resesi, meskipun dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif.
Mengapa mereka menolak mengakui AS resesi?
Mengutip dari pernyataan Biden, ia merujuk ke angka ketenagakerjaan per Juni, di mana setidaknya ada 372.000 pekerjaan baru dan menjadi kenaikan dalam periode empat bulan beruntun. Tingkat pengangguran juga bertahan di 3,6%.
Hal sama juga ditegaskan Yellen. Indikator resesi tidak terpenuhi karena penciptaan lapangan kerja terus berlanjut, keuangan rumah tangga tetap kuat, serta belanja dan bisnis masih tumbuh.
"Resesi, adalah pelemahan ekonomi kita yang luas yang mencakup PHK besar-besaran, penutupan bisnis, ketegangan dalam keuangan rumah tangga dan perlambatan aktivitas sektor swasta," tegas Yellen dimuat CNBC International.
"Itu bukan apa yang kita lihat sekarang ... Ketika Anda melihat ekonomi, penciptaan lapangan kerja terus berlanjut, keuangan rumah tangga tetap kuat, konsumen belanja dan bisnis tumbuh," tambahnya.
Meski begitu, Yellen mengakui beban yang ditanggung oleh harga yang lebih tinggi. Apalagi kalau bukan karena AS mencatat melejitnya inflasi menjadi 9,1% di Juni.
Perlu diketahui, AS mencatat PDB berkontraksi sebesar 0,9% pada kuartal II-2022 (yoy). Ini di luar ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan pertumbuhan 0,3%.
Ini melanjutkan kontraksi kuartal I-2022 yang sebesar 1,6%. Artinya, secara teknikal ekonomi AS telah memasuki resesi karena terkontraksi alias tidak ada pertumbuhan dalam dua kuartal berturut-turut.
Sebelumnya, perekonomian AS tercatat merosot tajam sejak 2021 setelah program stimulus bank sentral AS (The Federl Reserve/The Fed) berakhir. Kemudian inflasi merajalela dan memotong belanja konsumen serta pendapatan perusahaan.
Belum lagi perang Rusia dan Ukraina. Ini membuat harga energi naik signifikan.
(tfa/sef)