Bukannya Menyusut, Konsumsi Migas RI Justru Melonjak di 2050

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Selasa, 26/07/2022 13:40 WIB
Foto: Operasional Rig wilayah kerja Rokan yang dioperasikan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di Duri, Riau. (Dok: Pratama Guitarra)

Jakarta, CNBC Indonesia - ReforMiner Institute melaporkan bahwa hingga tahun 2050 mendatang tingkat konsumsi minyak dan gas (migas) di Indonesia akan terus meningkat. Hal tersebut dapat dilihat melalui proyeksi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Outlook Energy BPPT.

Sementara jika melihat produksi migas terutama produksi minyak bumi Indonesia saat ini diproyeksikan akan terus menurun. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam laporan ini memaparkan RUEN memproyeksikan konsumsi minyak Indonesia sampai dengan tahun 2050 akan terus meningkat.

Tiga skenario Outlook Energy BPPT yakni Business As Usual (BAU), Electric Vehicle (EV), dan New Renewable Energy (NRE) juga memproyeksikan volume konsumsi minyak Indonesia sampai dengan 2050 akan terus melonjak.


"Meskipun kebijakan transisi energi diimplementasikan, RUEN dan tiga skenario Outlook Energy BPPT memproyeksikan defisit neraca minyak bumi Indonesia sampai dengan tahun 2050 akan terus meningkat," ujar Komaidi dalam laporan tersebut dikutip Selasa (26/7/2022).

Adapun konsumsi minyak tertinggi terjadi pada skenario BAU yakni dengan kebutuhan mencapai 1.171,75 juta barel pada 2050. Sementara pasokannya sendiri hanya mencapai 70 juta barel saja.

Sedangkan konsumsi minyak pada skenario EV dan NRE relatif sama atau lebih rendah dari skenario BAU. Skenario EV memproyeksikan kebutuhan minyak pada 2050 mendatang mencapai 1.002,3 juta barel dengan pasokan 70 juta barel. Kemudian konsumsi minyak pada skenario NRE sebesar 1.016 juta barel dengan produksi 70 juta barel.

"Defisit neraca gas Indonesia pada tahun 2030-2050 baik berdasarkan skenario RUEN maupun tiga skenario Outlook Energy BPPT diproyeksikan akan terus meningkat," tulisnya.

Menurut Komaidi upaya optimalisasi penemuan cadangan dan produksi migas nasional merupakan solusi terbaik untuk meminimalkan defisit neraca migas Indonesia. Namun demikian, upaya tersebut dihadapkan pada fakta bahwa sekitar 70% blok migas produksi telah mengalami penurunan produksi alamiah dan sekitar 50% blok migas produksi merupakan mature fields.

Lebih lanjut, ia menilai pada umumnya pengembangan mature fields terkendala aspek keekonomian. Biaya produksi dan pemeliharaan mature fields terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya.

Ia pun menilai munculnya kendala pada aspek keekonomian dalam pengembangan mature fields terjadi karena regulatory framework hulu migas yang ada saat ini tidak mengatur adanya bentuk Kontrak Kerja Sama Khusus untuk mature fields.

Kontrak pengembangan mature fields cenderung diperlakukan sama dengan lapangan migas secara umum. Akibatnya ketentuan fiskal dalam Kontrak Kerja Sama yang berlaku seringkali kemudian tidak (lagi) menarik secara ekonomi bagi pengembangan lapangan migas mature fields.

Setidaknya terdapat beberapa aspek yang perlu diatur dalam kontrak kerja sama khusus mature fields. Pertama, perlu ditetapkan dan diatur tentang definisi dan/atau kriteria mature fields.

Kedua, Insentif dan besaran bagi hasil antara KKKS dan pemerintah perlu diatur untuk dapat bersifat negotiable sesuai dengan keekonomian lapangan. Ketiga, kepastian dan mekanisme pengembalian biaya investasi KKKS perlu diatur secara jelas baik melalui cost recovery atau melalui skema lainnya.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Genjot Produksi Migas RI Lewat Eksplorasi & Pemanfaatan EOR