
Dolar Ngamuk, Ternyata Pabrik Ini yang Duluan Remuk

Jakarta, CNBC Indonesia - Melemahnya rupiah terhadap dolar AS membawa pengaruh terhadap biaya produksi di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), utamanya di hulu dalam pembuatan bahan baku yaitu kain.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa ada beberapa bahan yang harganya ikut terkerek akibat melemahnya rupiah terhadap dolar AS.
"Di hulu, kalau impor bahan baku cotton, dia ada biaya lebih, biaya produksi naik karena bahan bakunya impor, karena nilai tukar jadi lebih mahal. Kalau rayon karena Polyester nggak terlalu ngaruh karena memang kita boleh transaksi pakai dolar AS," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (25/7/22).
Industri tekstil memang cenderung menggunakan Dolar AS karena bahan baku tekstil yang berdasar petrokimia dan cotton dibeli sebagian besar menggunakan mata uang ini. Sementara untuk ekspor produk tekstil itu mayoritas dijual dengan harga dolar AS.
"Kita masih menggunakan dolar AS sampai 2026, yang di hulu jadi transaksi 50% masih pake US$, terutama customer ekspor supaya nggak putar-putar lagi, ngga banyak transaksi penukaran uang," ujar Redma.
Meski sejumlah transaksi menggunakan kurs yang sama, yakni dolar AS, namun pengaruh terhadap modal kerja pun terasa. Hanya saja memang tidak terlalu besar dengan nilai tukar AS terhadap rupiah saat ini.
"Kalau naik sampai Rp 15.000 nggak sampai 2% kenaikannya dari harga bahan baku. 2% lah pengaruh ke harga bahan baku. Nggak signifikan karena 2% di hulu, begitu sampai di hilir nggak terasa," sebutnya.
Melansir Refinitiv, rupiah pada sesi pembukaan perdagangan menguat cukup tajam 0,23% ke Rp 14.980/US$. Kemudian, rupiah memangkas penguatannya menjadi menguat hanya 0,15% ke Rp 14.993/US$.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Barang Impor Merajalela Pengusaha TPT Mengadu ke Pemerintah