Internasional

Awas, Kenaikan Suku Bunga Eropa Bisa Jadi Bencana

Feri Sandria, CNBC Indonesia
21 July 2022 18:11
Christine Lagarde, President of the European Central Bank (ECB) looks on during a press conference on Governing Council meeting focused on monetary policy in the euro zone in Amsterdam on June 09, 2022. (Photo by JOHN THYS / AFP) (Photo by JOHN THYS/AFP via Getty Images)
Foto: Presiden Bank Sentral Eropa (ECB), Christine Lagarde. (Photo by JOHN THYS/AFP via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Merespons pelemahan euro terhadap dolar AS yang terus berlanjut serta inflasi yang menyentuh level tertinggi sepanjang masa, Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) diprediksi akan secara resmi menaikkan suku bunga acuannya malam ini, Kamis (21/7/2022). Tak tanggung-tanggung kenaikan akan sebanyak 25 bps.

Keputusan menaikkan suku bunga ini diambil di tengah situasi ekonomi Eropa yang semakin surut dan turbulen politik yang juga melanda benua Biru. Pukul 19.15 WIB nanti, pejabat ECB akan berkumpul untuk merembukkan dan mengumumkan tingkat suku bunga acuan baru Eropa yang diprediksi oleh analis dan ekonom akan dikerek naik.

Kenaikan suku bunga ini akan menjadi yang pertama bagi ECB dalam lebih dari satu dekade dipaksa oleh inflasi zona euro yang saat ini sudah mendekati 9%. Kebijakan ini diambil mengikuti langkah yang sebelumnya telah lebih dulu diterapkan oleh banyak bank sentral utama dunia lain, termasuk Federal Reserve (The Fed) AS.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur ECB Christine Lagarde juga diharapkan bisa meyakinkan investor dengan peluncuran paket kebijakan baru yang besar. Ini agar dapat melindungi ekonomi Eropa Selatan yang rentan dari risiko melonjaknya biaya pinjaman karena kenaikan suku bunga.

Kebutuhan untuk menyeimbangkan nilai tukar, inflasi dan pertumbuhan ekonomi berarti ECB perlu mengkalibrasi responsnya terhadap lonjakan suku bunga dengan lebih hati-hati daripada langkah lebih agresif dari The Fed. Yang mungkin akan membatasi efektivitasnya.

Sebelumnya, ketegangan mengemuka pada hari Selasa lalu ketika sejumlah orang yang akrab dengan masalah tersebut mengatakan bahwa pejabat ECB kemungkinan akan membahas kenaikan suku bunga hingga setengah poin-lebih besar dari kenaikan seperempat poin yang telah diantisipasi banyak pihak. Ini juga sinyalnya telah dikirimkan oleh Lagarde selama beberapa pekan lalu.

Dibandingkan dengan bank sentral lainnya, ECB bergerak paling lambat dalam menghapuskan kebijakan 'uang murah'. Saat ini, kala suku bunga utama ECB masih ditetapkan pada minus (-) 0,5%, terendah sepanjang masa, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 0,75 poin persentase (75 bps) akhir bulan ini.

Suku bunga The Fed bakal di antara 2,25% dan 2,5%. Apalagi setelah inflasi negeri Paman Sam tembus 9,1% bulan lalu.

Inflasi memang menjadi tantangan utama global saat ini. Namun di kedua sisi samudra Atlantik lajunya sangat cepat dan menunjukkan sedikit tanda-tanda penurunan.

Bank sentral Kanada pekan lalu bahkan meningkatkan suku bunga targetnya dengan satu persentase poin penuh (100 bps), menjadi 2,5%, level tertinggi sejak 2008.

Kehati-hatian ECB yang semula enggan menaikkan suku bunga acuan berimbas pada mata uang kawasan tersebut yang jatuh ke level terendah dalam 20 tahun terhadap dolar AS dalam beberapa hari terakhir. Ini akhirnya membebani ekonomi karena meningkatkannya biaya impor Eropa dan mempersulit ECB untuk menahan inflasi.

Sementara The Fed dapat lebih leluasa untuk benar-benar fokus untuk memerangi inflasi, pejabat ECB perlu khawatir tentang bagaimana suku bunga yang lebih tinggi akan berdampak pada wilayah geografis dan ekonomi berbeda. Mulai dari Jerman, Latvia hingga Yunani.

Kehati-hatian ECB dalam menaikkan suku bunga dimotivasi oleh sejumlah pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya. Setelah menaikkan suku pada tahun 2008 dan 2011, ECB harus segera berbalik arah karena blok tersebut jatuh ke dalam jurang resesi.

Sebagian dari masalahnya adalah bahwa imbal hasil obligasi pemerintah dan biaya pinjaman meningkat lebih tajam di Eropa Selatan daripada di Eropa Utara. Negara-negara seperti Yunani dan Spanyol mengalami perlambatan ekonomi yang lebih tajam dan lebih lama daripada Jerman atau Prancis.

Perbedaan tersebut terjadi sebagian karena desain area mata uang, yang mengikat negara-negara berdaulat dengan kebijakan fiskal mereka sendiri dan memiliki kesehatan ekonomi dan keuangannya yang juga bervariasi. Namun terlalu banyak perbedaan dalam biaya pinjaman juga dapat mempersulit beberapa ekonomi untuk tumbuh di bawah kebijakan moneter terpadu, mengancam blok tersebut menjadi tidak kohesif.

Satu dekade yang lalu, PM Italia yang dikabarkan telah mengundurkan diri Mario Draghi mengakhiri krisis utang zona euro saat menjabat sebagai Gubernur ECB dengan berjanji untuk melakukan "apa pun yang diperlukan" untuk mempertahankan euro. ECB kemudian meluncurkan rencana, yang dikenal sebagai Transaksi Moneter Langsung (Outright Monetary Transactions), untuk membeli utang pemerintah zona euro dalam jumlah yang berpotensi tidak terbatas.

Saat ini kenaikan suku bunga diharapkan dapat memerangi inflasi dan menjaga nilai tukar euro. Akan tetapi sejumlah negara tampaknya ikut cemas atas potensi dampak negatif yang dapat membebani ekonomi dan mendorong ke jurang resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lawan Inflasi, Eropa Naikkan Suku Bunga Jumbo: Ini Bahayanya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular