
'Kiamat Pesawat' Ancam Bisnis Logistik, Ongkir Bisa 'Meledak'

Jakarta, CNBC Indonesia - Keterbatasan pesawat di Indonesia ternyata tidak hanya berdampak ke penerbangan penumpang komersial. Tapi juga ke industri jasa kargo atau pengiriman barang.
Ketua Dewan Etika Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) Budi Paryanto mengatakan, saat ini maskapai penerbangan banyak mengurangi frekuensi penerbangan untuk bisa menyeimbangkan permintaan dan pasokan. Pasalnya, jumlah penumpang saat ini diakui belum dalam posisi normal.
"Betul. Dan ini berdampak pada cargo space menurun. Harga Harga SMU (surat muatan udara) dan tiket naik drastis. Selain dipengaruhi juga biaya-biaya bandara seperti airport tax untuk penumpang dan tarif gudang in/out, tarif handling, dan tarif RA/X-ray yang dinaikkan oleh otoritas bandara dalam hal ini Angkasa Pura," kata Budi kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (21/7/2022).
Dia menambahkan, penurunan ruang (space) akan berdampak pada kenaikan tarif jasa pengiriman.
"Penurunan space sekitar 30-40% number of flight yang hilang. Dan pasti akan berlaku hukum dasar ekonomi pasar kalau supply turun sementara demandnya masih stabil, ya harga akan bergerak naik," kata Budi.
Menurut dia, produk jasa yang rentan terkena dampak kondisi tersebut adalah segmen Express Delivery.
"Atau shipment peka waktu yang jarak jauh (antarpulau) yang nggak bisa dialihkan ke moda lainnya," ujarnya.
Di sisi lain, Budi berharap, kondisi tersebut justru membuka peluang lebar untuk munculnya pesawat-pesawat kargo (freighter) yang berjadwal.
"Jadi bukan yang base on carter seperti yang ada saat ini. Itu peluang positif bagi industri penerbangan. Pertanyaannya sejauh mana freighter ini bisa menyiapkan harga SMU yang tidak lebih mahal dari harga SMU Passenger Flight? Dan bisa bertahan beroperasi berapa lama dengan harga bersaing itu?," ujarnya.
Saat ini, ujarnya, perusahaan logistik yang sudah memiliki pesawat sendiri tidak memiliki izin untuk terbang di langit Indonesia. Namun, hanya bisa melayani arus pengiriman barang internasional.
"Sementara ada anggota kita yang sudah bisa carter freighter tapi tidak berjadwal, hanya sesuai kebutuhan. Jadi kurang menarik untuk anggota yang lain ikut isi space," katanya.
"DHL nggak bisa terbang domestik. JNE sudah meresmikan 2 freighter-nya tapi sementara masih untuk kebutuhan internal, belum jual space keluar. Yang mampu secara financial kayak gitu mungkin di kita ya mungkin hanya JNE. Ratusan anggota kami lainnya tergantung ke pesawat penumpang," ungkap Budi.
Keterbatasan ruang dan armada serta lonjakan biaya, kata Budi, adalah tantangan yang saat ini tengah mengancam bisnis logistik lewat jalur pengiriman udara. Padahal, segmen ini adalah tulang utama industri jasa logistik.
Kenaikan harga BBM dan efek inflasi yang terus naik, ujarnya, berdampak bagi bisnis jasa pengiriman barang atau logistik. Apalagi, biaya BBM rata-rata diprediksi berkontribusi 20-25% terhadap ongkos produksi first mile-last mile.
"Jelas berdampak karena industri kami sebagian besar proses bisnisnya menggunakan angkutan darat yang sangat dipengaruhi langsung oleh harga minyak. Proses bisnis itu ada di awal, di tengah dan di akhir. Saat pick up-transporting-delivery. Yang terdampak langsung adalah proses di awal dan di akhir," tutur Budi.
"Yang di tengah saat ini lebih parah, bukan hanya karena kenaikan SMU operator pesawat tapi juga ditambah kenaikan biaya-biaya lain seperti biaya gudang, biaya pemeriksaan, pajak bandara. Kami sedang analisis besarannya," tambah Budi.
Budi mengatakan, jika kemudian operator jasa kiriman menaikkan harga, yang sebelumnya terjadi adalah konsumen kiriman jenis tertentu yang 'peka waktu' banyak dipindahkan ke kiriman reguler.
"Tapi itu kan terbatas pada shipment yang bisa disubstitusi ke moda transportasi lain, darat. Karena leadtime-nya masih terjangkau. Biasanya kiriman yang antarpulau jelas tidak bisa dialihkan. Ini yang berat di ongkos," pungkas Budi.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bawa 11 Ton Senjata, Pesawat Antonov Meledak
