Dolar AS Pepet Rp 15.000, BI Jadi "Elang" Seperti 2018?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis (21/7/2022) siang. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia terbelah sama kuat di antara yang memperkirakan kenaikan dan yang mempertahankan suku bunga acuan.
Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, tujuh memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 3,75% pada bulan ini. Sementara tujuh lainnya memperkirakan BI tetap mempertahankan BI 7-DRR sebesar 3,5%.
Jika BI tetap mempertahankan suku bunga acuan maka BI-7DRR sebesar 3,5% akan bertahan selama 18 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.
Sementara jika BI menaikkan suku bunga maka kenaikan tersebut akan menjadi pertama kalinya dalam kurun waktu 3,5 tahun lebih. Sebagai catatan, terakhir kali kubu MH Thamrin mengerek suku bunga acuan adalah pada November 2018.
Di tahun itu, BI menjadi elang alias hawkish. Perry Warjiyo yang menjabat Gubernur BI sejak Mei 2018 mengeluarkan jargon ahead the curve dan sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed).
Sepanjang 2018 The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 basis poin menjadi 2,5%. Sementara, BI lebih agresif dengan mengerek suku bunga hingga 175 basis poin menjadi 6%.
Kebijakan ahead the curve ditempuh BI guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang mengalami tekanan akibat kenaikan suku bunga The Fed. Rupiah yang saat itu sempat merosot lebih dari 12% ke Rp 15.265/US$ mampu memangkas pelemahan dan mengakhiri 2018 di level Rp 14.375/US$, atau melemah sekitar 6%.
Hal yang sama terjadi di tahun ini, The Fed menaikkan suku bunga dengan sangat agresif, rupiah juga mengalami tekanan meski tidak separah 2018. Bedanya, hingga semester I-2022 berakhir, BI masih enggan menaikkan suku bunga.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Fundamental Dalam Negeri Kini Jauh Lebih Bagus
Lain dulu lain sekarang. Jika di 2018 BI mengerek suku bunga dengan agresif guna menjaga stabilitas rupiah, di tahun ini Mata Uang Garuda cukup stabil.
Meski sempat menembus ke atas Rp 15.000/US$ pada Rabu (6/7/2022) lalu, tetapi setelahnya rupiah mampu terus bertahan di bawah level psikologis tersebut. Sepanjang tahun ini pelemahannya sekitar 5%, dan jauh lebih baik ketimbang mata uang utama Asia lainnya.
Alhasil, BI hingga paruh pertama 2022 masih tetap mempertahankan suku bunga acuannya di 3,5%.
Fundamental Indonesia yang berbeda ketimbang 2018 memberikan BI ruang menahan suku bunga di rekor terendah lebih lama meski The Fed sangat agresif menaikkan suku bunga.
Tingginya harga komoditas membuat neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 26 bulan beruntun, yang mendongkrak transaksi berjalan menjadi surplus juga.
Kala transaksi berjalan surplus, pasokan devisa lancar ke dalam negeri. Hal ini membuat nilai tukar rupiah masih cukup stabil di tahun ini.
Pada 2021 lalu, untuk pertama kalinya sejak 2011 transaksi berjalan Indonesia mencatat surplus, sebesar 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan 2018 yang tercatat defisit hingga 3% dari PDB.
Surplus transaksi berjalan masih berlanjut di tahun ini, setidaknya di kuartal I lalu, surplus tercatat sebesar 0,1% dari PDB. BI memperkirakan di kuartal II-2022, transaksi berjalan juga masih surplus. Hal ini tentunya menjadi fundamental yang kuat, dan menjaga stabilitas rupiah.
Selain itu, BI punya cadangan devisa yang lebih besar ketimbang 2018. Pada akhir Juni, cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar US$ 136,4 miliar. Sementara di awal 2018 sebesar US$ 132 miliar.
Selain itu, kepemilikan asing di pasar Surat Berharga Negara (SNB) yang saat ini hanya sekitar 16% saja, jauh lebih rendah dari awal 2018 yang lebih dari 40%. Sehingga jika terjadi capital outflow tentunya tidak akan sebesar 2018, BI tentunya bisa melakukan intervensi guna menstabilkan rupiah.
Alhasil, sepanjang tahun ini rupiah masih cukup stabil meski The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. The Fed sejauh ini sudah 3 kali menaikkan suku bunga dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%, dan pekan depan diperkirakan akan menaikkan 75 hingga 100 basis poin. Bank sentral paling powerful di dunia ini juga menegaskan akan terus menaikkan suku bunga di sisa tahun ini hingga diproyeksikan menjadi 3,5% - 3,75%. Bahkan tahun depan bank sentral pimpinan Jerome Powell ini masih akan menaikkan suku bunga lagi.
Artinya, suku bunga The Fed akan lebih tinggi dari BI jika Perry dan kolega tidak mengerek BI 7-DRR hingga akhir tahun nanti. Akan menjadi sangat tidak biasa jika suku bunga di AS lebih tinggi dari di Indonesia, hal ini tentunya bisa memicu capital outflow yang sangat masif dari dalam negeri, khususnya dari pasar obligasi.
Sehingga hanya masalah waktu BI akan menaikkan suku bunga di tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi RI Aman Meski BI "Nyuntik" Rp 800 T, Apa Rahasianya?
