Internasional

Perdana di 100 Tahun Rusia Default, Ekonomi Putin Nyungsep?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
28 June 2022 09:00
FILE - In this March 28, 2014 file photo, a Russian national flag flies on a hilltop near the city of Bakhchysarai, Crimea. The Group of Seven major industrialized countries on Thursday March 18, 2021, issued a strong condemnation of what it called Russia's ongoing “occupation” of the Crimean Peninsula, seven years after Moscow annexed it from Ukraine. (AP Photo/Pavel Golovkin, File)
Foto: AP/Pavel Golovkin

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia telah gagal membayar utang luar negerinya untuk pertama kali. Kondisi ini terjadi pasca negara itu melewatkan tenggat waktu pada Minggu untuk membayar bunga US$ 100 juta.

Negeri itu memiliki deadline pembayaran pada 27 Mei dengan masa tenggang 30 hari setelahnya, yang berakhir kemarin lusa. Sumber sejumlah media asing seperti Reuters menulis pemegang obligasi di Taiwan misalnya mengaku belum menerima pembayaran.

Namun, default tersebut bukan karena Rusia tidak memiliki dana, tetapi karena sanksi yang diberikan Amerika Serikat (AS). Konflik perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina membuat negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin tersebut dipojokkan oleh negara-negara Barat. 

Rusia sebenarnya memiliki obligasi dalam bentuk valuta asing sebesar US$ 40 miliar, dan total utang luar negerinya mencapai US$ 453,4 miliar pada akhir kuartal I-2022, berdasarkan data Trading Economics. Utang luar negeri tersebut memang besar, tetapi Rusia sebenarnya memiliki cadangan devisa yang jauh lebih besar.

Cadangan devisa Rusia sekitar US$ 640 miliar, sekitar setengahnya ditempatkan di luar negeri. Besarnya cadangan devisa tersebut nyaris lima kali lipat dari yang dimiliki Indonesia US$ 135 miliar.

Masalahnya, perang Rusia dan Ukraina membuat Amerika Serikat dan sekutu membekukan cadangan devisa tersebut. Sehingga tidak bisa diakses Bank Sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR).

Informasi pada Maret lalu, cadangan devisa Rusia yang bisa diakses tinggal simpanannya di China. Porsinya 17,67% dari total cadangan mereka.

Sedangkan sekitar 61% lainnya sudah dibekukan. Atlantic Council menerangkan bahwa data ini belum memperhitungkan cadangan devisa yang tersimpan di dalam negeri Rusia.

Dengan asumsi setengah cadangan devisanya dibekukan, Rusia tentunya masih memegang sekitar US$ 300 miliar. Untuk membayar US$ 100 juta tentunya tidak akan kesulitan. Namun, sekali lagi sanksi yang diberikan Barat membuat Rusia dipersulit dalam membayar utangnya.

Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov bahkan menyatakan default tersebut adalah sebuah "lelucon". Kementerian Keuangan Rusia pun mengatakan sudah mengirimkan pembayaran senilai US$ 100 juta ke Euroclear, sebuah bank yang kemudian akan mentransfer pembayaran tersebut ke investor.

Seperti diketahui, pada awal bulan ini Departemen Keuangan AS menutup akses investasi ke Rusia, yang berlaku untuk obligasi di pasar sekunder mau pun primer. Dengan kebijakan tersebut, mayoritas perbankan pun otomatis menghentikan sementara transaksi obligasi Rusia.

Hal ini ditengarai menjadi pemicu default yang dikatakan "lelucon" oleh Menteri Keuangan Rusia. Uang Rusia yang sudah disalurkan ke Euroclear tetap tak sampai ke mereka yang berhak.

Lalu, bagaimana dampaknya terhadap ekonomi Rusia?

Rasa sakit akibat default akan dirasakan sebagian besar di Rusia. Memulihkan diri dari default bisa menjadi proses yang lambat dan sulit, dan mungkin lebih rumit bagi Rusia karena negeri itu sedang diisolir dari sistem keuangan global.

Jika Moskow mencoba untuk terus maju dengan melakukan pembayaran dalam rubel, hal itu dapat semakin mendevaluasi mata uang, memukul lebih banyak rasa sakit inflasi bagi konsumen Rusia. 

Laju inflasi Rusia melambat menjadi 17,10% secara (yoy) pada Mei, dari sebelumnya 17,83% di April 2022 yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2022.

Hal ini diperkuat juga dengan komentar ekonom eksekutif di Nomura Research Institute Takahide Kiuchi. Ia tidak melihat default utang Rusia berdampak besar pada pasar global, apalagi karena investor telah memperkirakannya, tapi bisa parah bagi perekonomian lokal.

"Dalam jangka pendek, ekonomi Rusia diperkirakan akan masuk ke dalam resesi, berkontraksi sekitar 10% tahun ini," kata Kiuchi.

"Melihat lebih jauh ke depan, negara ini akan berjuang untuk menumbuhkan ekonominya karena mungkin tidak dapat meminjam uang dari luar negeri selama beberapa dekade, mungkin hingga 30 tahun," tambahnya.

Selanjutnya, kerusakan reputasi juga bisa berat. Secara prinsip gagal bayar utang akan membuat reputasi sebuah negara turun.

Bagi negara, gagal bayar akan merugikan karena berarti negara tersebut hanya akan bisa mengakses utang dengan bunga yang tinggi. Jika tidak dapat menyelesaikan utangnya, Rusia mungkin akan menemukan bunga yang terbatas saat berikutnya mencoba meminjam dana dari pasar internasional.

Banyak investor pun terikat oleh perjanjian yang mencegah mereka berinvestasi di negara-negara yang dianggap gagal bayar. Sialnya, default kemungkinan akan memotong akses Rusia ke pembiayaan asing selama bertahun-tahun


TIM RISET CNBC INDONESIA



[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Biang Kerok yang Bikin Rusia Terancam Gagal Bayar Utang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular