Deretan Jurus Atasi Krisis Pangan yang Bikin Jokowi 'Ngeri'
Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman krisis pangan bukan isapan jempol semata. Bahkan, setidaknya ada sekitar 60 negara yang di ambang keruntuhan, di mana 42 di antaranya telah terkonfirmasi akan jatuh akibat krisis yang terjadi.
Krisis pangan yang terjadi tak lepas dari dampak perang antara Rusia dan Ukraina yang merupakan produsen dan eksportir komoditas utama dunia. Mulai dari minyak dan gas, pertambangan, hingga pangan banyak berasal dari dua negara tersebut.
Perang telah membuat produksi dan distribusi berbagai komoditas terganggu. Selain itu, banyak pula negara yang melakukan embargo terhadap produk Rusia sebagai bentuk sanksi atas serangan militer ke Ukraina. Alhasil, ini membuat arus komoditas terganggu.
"Begitu krisis keuangan masuk ke krisis pangan, masuk ke krisis energi, mengerikan," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rakernas PDIP, Rabu (22/6/2022).
Jokowi menyebut sudah ada negara yang terkena dampak dari krisis pangan. Beberapa negara yang selama ini menggantungkan hasil pangan dari impor, bahkan sampai tidak bisa berkutik lantaran tak memiliki cadangan devisa.
"Tidak punya cadangan devisa, tidak bisa beli pangan, tidak bisa beli impor pangan. Karena pangannya, energinya impor semua. Kemudian terjebak pada pinjaman utang yang sangat tinggi," jelasnya.
Jokowi pun telah memerintahkan jajarannya untuk mencari cara dan bersiap agar terhindar dari ancaman krisis pangan. Salah satunya, dengan mengajak para ptani untuk menanam seluruh bahan yang bisa menjadi sumber pangan.
Jokowi mengajak pemanfaatan lahan di antara tanaman sawit dengan menanam sorgum, jagung, hingga porang. Jokowi ingin Indonesia tak hanya lolos dari ancaman krisis pangan, melainkan juga dapat mandiri dan bisa memanfaatkan peluang ekspor.
Terbaru, Panitia Kerja (Panja) Komisi IV DPR menyarankan agar pemerintah melakukan redistribusi pupuk bersubsidi yang diyakini efektif menjaga ketahanan pangan, yang diiringi dengan validasi data penerima.
Peneliti CORE Indonesia Eliza Mardian mengemukakan, pemerintah perlu memperbaiki rencana definitif kebutuhan kelompok tani sehingga kebijakan tersebut lebih tepat sasaran, efektif, dan efisien.
"Butuh perbaikan karena ada banyak petani yang belum tercatat. Ini perlu diperbaiki," kata Eliza.
Eliza mengatakan, redistribusi pupuk bersubsidi bisa menjadi opsi untuk menjaga ketahanan pangan di tengah gejolak perang antara Rusia dan Ukraina yang berdampak pada pasokan bahan baku.
Menurutnya, perang antara Rusia dan Ukraina membawa dampak buruk bagi komoditas pangan sehingga meningkatkan indeks harga konsumen. Apalagi, Ukraina adalah negara yang menjadi pemasok utama fosfat dan kalium yang menjadi bahan baku pupuk.
Namun, menurut dia, pemerintah juga perlu lebih fleksibel dalam mendistribusikan pupuk yakni dengan mengacu pada identitas serta komoditas yang ditanam oleh kelompok petani.
"Di Indonesia ada daerah kelebihan komoditas tertentu, tetapi di daerah lain kekurangan komoditas itu, jadi belum merata, ini yang harus ditangani," ujarnya.
Eliza menilai, jika dikelola dengan tepat, kebijakan redistribusi pupuk akan meningkatkan output pertanian serta menjamin ketersediaan pasokan pangan sehingga terjadi keseimbangan dari sisi penawaran maupun permintaan.
Titik keseimbangan ini yang diangaap perlu diprioritaskan sehingga konsumsi bahan pangan stabil serta Indonesia terhindar dari stagflasi atau tingkat inflasi tinggi yang berlangsung selama periode tertentu.
Selan itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tukar petani (NTP). BPS mencatat, NTP nasional pada Mei 2022 sebesar 105,41, turun sebanyak 2,81% dibandingkan dengan NTP pada bulan sebelumnya yang mencapai 108,46.
NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
(cha/cha)