Internasional

NATO Ramal Perang Rusia Bisa Lama, Ekonomi Dunia Makin Hancur

Maesaroh, CNBC Indonesia
20 June 2022 18:00
UKRAINE-CRISIS/GRADUATION-ALBUM
Foto: via REUTERS/INSTAGRAM/@SENYKSTAS

Jakarta, CNBC Indonesia - Aliansi militer NATO mengingatkan perang Rusia-Ukraina bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Jika ramalan NATO menjadi kenyataan maka perekonomian dunia dikhawatirkan akan semakin terpuruk, harga komoditas tetap tinggi, dan angka kemiskinan meningkat drastis.

"Kita harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa perang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kita tidak boleh menyerah dalam mendukung Ukraina. Bahkan jika biayanya tinggi, tidak hanya untuk dukungan militer, juga karena kenaikan harga energi dan pangan," tutur Sekretaris umum NATO, Jean Stoltenberg dikutip dari Reuters, Minggu (19/6/2022).

Ucapan Jean dikuatkan pernyataan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang mengatakan perlunya mempersiapkan perang yang panjang, khususnya untuk pihak Ukraina.

"Waktu adalah faktor vital. Semuanya akan tergantung pada apakah Ukraina dapat memperkuat kemampuannya untuk mempertahankan tanahnya lebih cepat daripada Rusia dapat memperbarui kapasitasnya untuk menyerang," tulis Johnson dalam sebuah opini di Sunday Times London.

Pernyataan NATO dan Boris Johnson ini menjadi kabar negatif bagi perekonomian global. Perang yang panjang hanya akan melambungkan inflasi, mengganggu distribusi, dan melemahkan perekonomian global.

Rusia dan Ukraina adalah pemasok utama komoditas pangan dan energi dunia sehingga perang sangat mengganggu pasokan sejumlah komoditas mulai dari gandum, gas, batu bara, minyak bumi, hingga minyak nabati. Akibat perang, inflasi di hampir semua negara melonjak drastis karena harga komoditas energi dan pangan yang melangit.

"Jika Ukraina tidak bisa mengekspor gandum maka negara-negara di dunia akan menderita. Kenaikan harga energi akan menambah tekanan tersebut," tutur Hal Brands, profesor di Johns Hopkins University's School, dalam kolomnya di Bloomberg.

Negara penghasil batu bara thermal terbesar di duniaFoto: Capital Economics
Negara penghasil batu bara thermal terbesar di dunia


Bank Dunia bahkan sudah mengingatkan perang yang berkepanjangan bisa membuat ratusan juta manusia hidup dalam kemiskinan ekstrem serta kondisi rawan pangan.

Negara-negara miskin yang selama ini menggantungkan pasokan bahan pangan dari impor akan semakin kesulitan dalam menjangkau harga bahan pangan.
Berdasarkan data Bank Dunia, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim naik 100 juta menjadi 700 juta karena pandemi Covid.

Julian Lampietti, Manager for Agriculture & Food Global Practice Grup Bank Dunia mengingatkan perang apalagi jika sampai berkepanjangan hanya akan menambah jumlah masyarakat miskin.

Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menunjukkan jumlah orang yang masuk kategori rawan pangan meningkat drastis dari 135 juta sebelum pandemi hingga 276 juta pada saat ini.

"Perang di Ukraina hanya akan mempercepat kenaikan kemiskinan. Kita tengah menghaapi krisis yang massif dan begitu banyak persoalan terkait pangan yang ada sekarang," tuturnya, dalam podcast  Bank Dunia bertajuk Why Is the World Facing a Food Crisis?.

Halaman 2>>

Bank Dunia juga mengatakan perang hanya membuat pemulihan ekonomi global terganggu. Bank Dunia sudah memangkas pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini dari 4,1% menjadi 2,9%.

Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan Indonesia secara umum diuntungkan dari kenaikan harga komoditas sebagai dampak meletusnya perang Rusia-Ukraina. Pasalnya, Indonesia adalah penghasil komoditas seperti batu bara, minyak sawit mentah, hingga nikel yang harganya ikut melambung karena perang.

Namun, dia mengingatkan jika perang tidak juga surut, Indonesia juga akan terdampak besar karena harga minyak  kemungkinan terus melonjak. Pemerintah memang sudah berkomitmen untuk tidak menaikkan harga BBM dan tariff dasar listrik untuk menjaga inflasi dan daya beli. Namun, David mengingatkan persoalan besar akan timbul jika harga minyak mentah terus melonjak dan melewati US$ 140 per barel.

"Yang jadi masalah itu jika perang terus berkepanjangan dan meluas. Akan ada pukulan di harga energi sehingga subsidi bisa saja tidak cukup. Kalau harga minyaknya sampai US$ 140 per barel, gapnya akan semakin besar. Inflasi bisa meningkat," tutur David, kepada CNBC Indonesia.


UOB dalam laporannya Indonesia: Revising Our Inflation-GDP Outlook Amidst Uncertainty menghitung besarnya dampak kenaikan harga minyak ke inflasi dan pertumbuhan.

Setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 10 per barel  maka inflasi bisa terdongrak 1,9 percentage point (ppt) pada tahun berjalan. Namun, dalam jangka pendek, dampak tersebut hanya berkisar 0,3 ppt.

Sebelumnya, pengamat militer dan pertahanan keamanan Connie Rahakundini Bakrie meminta pemerintah untuk menyiapkan scenario terburuk terhadap konflik Rusia-Ukraina. Pasalnya, sejarah membuktikan konflik antar negara Eropa biasanya berlangsung lama.

Dia mencontohkan Perang Utara Besar yang melibatkan Empire Rusia dan Swedia pada 1700an berlangsung lebih dari 21 tahun.
Sanksi ekonomi terhadap sebuah negara juga tidak terlalu efektif. Sanksi malah membuat negara yang disanksi lebih kuat seperti apa yang terjadi di Iran.

"Sanksi tidak membuat sebuah negara mati tapi kuat terlebih Rusia sudah mengalami jatuh bangun dari zaman kekaisaran," ujar Connie, dalam diskusi LPPI Virtual Seminar #76 : Krisis Geopolitik dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia, Selasa (31/5/2022).


(mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kapan Perang Rusia-Ukraina Selesai? Ini Prediksi NATO

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular