Apakah Dunia Segera Jatuh ke Lubang Resesi? Baca Ini!
Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian dunia seringkali diramalkan akan jatuh dalam resesi. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan Covid-19 di beberapa negara yang juga disertai perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Meski begitu, kepala ekonomi global di Economist Intelligence Unit, Simon Baptist, melihat bahwa resesi ekonomi belum akan terjadi dalam waktu dekat. Ia menyebut yang akan terjadi justru kenaikan biaya dan pertumbuhan yang lebih lambat.
"Tidak akan ada stagflasi yang tiba-tiba," katanya dikutip CNBC International, Selasa (31/5/2022).
"Ketika perang di Ukraina dan gangguan pandemi terus mendatangkan malapetaka pada rantai pasokan, stagflasi akan bertahan setidaknya selama 12 bulan ke depan."
"Harga komoditas akan mulai turun mulai kuartal berikutnya, tetapi akan tetap lebih tinggi secara permanen daripada sebelum perang di Ukraina karena alasan sederhana bahwa pasokan banyak komoditas Rusia akan berkurang secara permanen," tambahnya.
Pandemi serta perang di Ukraina telah menahan pasokan komoditas dan barang dan mengganggu distribusi yang efisien melalui rantai pasokan global. Ini memaksa naiknya harga barang sehari-hari seperti bahan bakar dan makanan.
"Untuk hampir semua ekonomi Asia, resesi cukup kecil kemungkinannya, jika kita berbicara tentang periode berturut-turut dari PDB negatif," ujarnya lagi.
Hal serupa juga disampaikan Kepala ekonom AMP Capital Shane Oliver. Oliver mengatakan tidak melihat kemungkinan resesi ekonomi setidaknya sampai selama 18 bulan ke depan.
"Kurva imbal hasil atau kesenjangan antara imbal hasil obligasi jangka panjang dan suku bunga jangka pendek belum secara tegas membalikkan atau memperingatkan resesi dan bahkan jika sekarang rata-rata mengarah ke resesi adalah 18 bulan," katanya dalam sebuah catatan.
Beberapa bank sentral dunia sendiri diketahui telah menaikan suku bunganya untuk mengendalikan inflasi. Bank sentral AS mengumumkan kenaikan suku bunga setengah poin persentase dan memperingatkan kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Pekan lalu, Reserve Bank of New Zealand, juga menaikkan suku bunga setengah poin persentase menjadi 2%.
Meski begitu, selalu ada risiko pengendalian inflasi akan menyebabkan resesi. Oliver memaparkan bahwa resesi dapat terjadi jika inflasi justru terus cenderung naik meski beberapa langkah telah dilakukan.
"Semakin lama inflasi tetap tinggi, semakin banyak pasar investasi khawatir bahwa bank sentral tidak akan dapat menjinakkannya tanpa membawa resesi. Seperti yang ditunjukkan Ketua Fed (Bank Setral AS) Jerome Powell, membuat inflasi menjadi 2% akan termasuk beberapa rasa sakit," tambahnya.
(sef/sef)