Waspada! Ada Masalah Besar Menanti Saat PNS Boleh WFA

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Jumat, 27/05/2022 17:40 WIB
Foto: Infografis/Gak Cuma PNS! Banyak Perusahaan Global Sudah Flexible Working/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana untuk mengizinkan aparatur sipil negara (ASN) untuk bekerja dari mana saja atau work from anywhere (WFA). Sebelum diterapkan, perlu juga bagi pemerintah untuk menengok ke dalam sistem mereka, apakah benar-benar siap menerapkan WFA untuk ASN?

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo menjelaskan, tren dunia kerja di mancanegara saat ini memang mengarah untuk menerakan WFA. Sehingga kebijakan ini untuk diterapkan oleh para ASN juga tidak bisa dihindari.


"Kalau sekarang sudah diwacanakan seperti itu, bukan sesuatu yang aneh. Namun, yang harus dilihat dari segi kesiapan pemerintah. Dari sistem, dari pegawainya, dan infrastrukturnya. Itu semua harus siap," jelas Roy kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/5/2022).

Hal yang paling utama harus disiapkan pemerintah jika ingin menerapkan WFA, kata Roy adalah regulasi atau aturan teknisinya. Ini harus dibangun dengan baik, agar kinerja ASN atau PNS tak menurun nantinya.

Juga, pemerintah harus mempertimbangkan penilaian kinerja ASN/PNS saat WFA diterapkan nantinya, mengingat Indonesia kerap selalu menggunakan model birokrasi weberian di seluruh wilayah kerja instansi pemerintah, baik pusat atau daerah.

Birokrasi weberian yang dimaksud Roy merupakan model tipe birokrasi hasil buah pikir Max Weber. Birokrasi webrian umum dikenal dengan ciri adanya formalisasi aturan dan prosedur, hirarki yang panjang, spesialisasi kerja, dan impersonal.

"(PNS) membutuhkan kontrol langsung dari atasan. Kalau WFA diterapkan, sistem kontrol bagaimana. Perilaku pegawainya itu tidak dikontrol langsung tatap muka. Namun bisa dikontrol dengan kinerja," ujar Roy.

"Nah, sistem kinerjanya seperti apa, ini masalah besar. Terutama buat pemerintah daerah. Karena tahun lalu saya meneliti tentang bagaimana pemerintah membangun sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, yang sangat membutuhkan ukuran-ukuran kinerja,yang mayoritas masih buruk," ujar Roy lagi.

Pun bagaimana dengan pelayan publik ke depan, jika WFA diterapkan. Bagaimana jika pelayanan publik dijalankan tanpa tatap muka, apakah sistem di Indonesia bisa mengakomodasi hal tersebut.

Adanya pelayanan publik tanpa tatap muka, kata Roy sudah tentu diperlukan akses internet dan teknologi yang memadai. Di Indonesia, menurut Roy masih jauh dari kata siap jika ini diterapkan.

"Kalau di Korea penyuluhan itu sudah bisa pakai IT, karena mereka sudah masuk yang majority-nya jauh lebih bagus. Sistem kita belum sampai ke sana," tuturnya.

Infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di antar instansi pemerintah pun, menurut Roy masih sangat jauh dari kata siap. Mengingat sistem informasi antar kementerian tidak saling berhubungan.

"Sekarang problem paling besar di e-government Indonesia adalah sangat buruk pada tingkat connected (koneksi). Jadi, keterhubungan antar satu unit dengan unit lain atau kementerian/lembaga itu gak bagus," jelasnya.

"Jadi kalau sudah masuk ke ICT (information and communications technology) itu harus dipikirkan. Belum lagi, kita harus memiliki keterbukaan yang baik dengan masyarakat," tuturnya.

Dari sisi anggaran pemerintah jika WFA benar-benar mau diterapkan, pemerintah harus siap merogoh kocek anggaran lebih banyak, karena banyak infrastruktur teknologi yang harus dibangun.

"Karena di tahun-tahun awal menerapkan (WFA) pemerintah harus menyediakan infrastruktur yang bagus dan itu cost pasti naik," ujar Roy lagi


(cap/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PNS Kini Bisa Kerja Dari Mana Saja