Awas Putin! AS Lempar 'Bom' Baru, Rusia Terancam Bangkrut
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Joe Biden akan melarang Rusia untuk membayarkan dana kepada pemegang obligasi melalui bank-bank Amerika Serikat (AS). Larangan disampaikan Kementerian Keuangan dan akan berlaku efektif mulai Rabu, (25/5/2022) ini.
Hal itu merupakan bagian dari deretan sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Moskow setelah menyerang Ukraina sejar 24 Februari. Sebelumnya, sanksi seperti ini tak diberlakukan AS, sehingga Rusia masih bisa memproses pembayaran ke pemegang obligasi melalui bank-bank AS dan internasional.
"Langkah ini meningkatkan kemungkinan bahwa Rusia akan gagal bayar (default) atas utangnya yang belum dibayar," tulis CNBC International.
"Pengecualian (pembayaran ke pemegang obligasi melalui bank-bank AS) itu akan hilang pada hari Rabu pukul 12:01 ET, menurut buletin yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan berjudul, 'Pemberitahuan tentang Lisensi Umum Sanksi Kegiatan Asing Berbahaya Rusia 9C'," tambah media itu.
Sementara itu, menurut menurut laporan Dow Jones mengutip penelitian JPMorgan Chase & Co, Rusia menghadapi hampir US$ 400 juta (Rp 5,8 triliun) pembayaran obligasi berdenominasi dolar. Semua jatuh tempo pada 23 Juni dan 24 Juni.
Timothy Ash, ahli strategi kedaulatan senior di BlueBay Asset Management, awal bulan ini mencatat Kantor Pengawasan Aset Asing Departemen Keuangan AS (OFAC) memang masih memiliki potensi untuk mendorong Rusia ke dalam default dengan menangguhkan pembayaran obligasi ini.
"OFAC dapat memaksa Rusia ke default kapan saja. OFAC masih di kursi pengemudi, " kata Ash.
Sebelumnya, Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa setiap potensi default 'sepenuhnya adalah buatan". Ia mengatakan sebenarnya Rusia memiliki dana yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban utang luar negerinya.
Bahkan, Moskow sempat berpikir untuk membayarkan obligasi mata uang asingnya dengan rubel. Rubel sendiri adalah mata uang Rusia.
"Faktanya adalah bahwa sejak awal kami telah mengatakan bahwa Rusia memiliki semua dana dan potensi yang diperlukan untuk mencegah default. Tidak boleh ada default," katanya.
(sef/sef)