Duh, Sritex Saja Bisa 'Goyang', Gimana Pabrik Tekstil Kecil
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri tekstil tengah mendapat sorotan setelah raksasa Sritex terancam dihapus dari papan perdagangan bursa atau delisting. Potensi delisting itu merupakan peringatan dari Bursa Efek Indonesia (BEI) mengingat saham SRIL sudah disuspensi selama 12 bulan
Suspensi perdagangan saham Sritex bermula ketika perusahaan mengalami gagal bayar atas utang-utang jangka pendeknya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai nasib keberadaan industri tekstil dan garmen kecil menengah jika raksasa sebesar SRIL saja menghadapi masalah serius soal keuangan.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa pada kuartal I-2022 pabrikan tekstil kecil menengah tengah masih menghadapi ancaman impor. Kondisinya bisa kian mengkhawatirkan ke depannya.
"Kalau impor di Q1 ada, tapi relatif sedikit dan tidak terlalu mengganggu. Ini malah kita khawatir nya di Q2, karena kita dapat info barang impor sudah mulai membanjiri pasar akibat Kemendag kembali memberikan izin impor bagi API-U (Angka Pengenal Importir-Umum)," kata Redma kepada CNBC Indonesia, Jumat (20/5/22).
Kebijakan itu bisa menjadi pintu masuk produk impor kembali membanjiri pasar dalam negeri. Akibatnya garmen yang menyuplai ke pasar-pasar tekstil seperti Tanah Abang hingga Pasar Senen kian terancam.
"Alasannya untuk IKM, padahal di Q4-2021 dan Q1 2022 sudah terbukti produsen dalam negeri sangat mampu memasok bahan baku untuk IKM," lanjutnya.
Padahal, saat ini iklim permintaan dari pasar dalam negeri cukup baik. Sayang, jika sampai gelombang impor masuk maka bisa mengacak-acak potensi produsen.
"Pertumbuhan kita 12%, jauh lebih tinggi dari proyeksi kita yang hanya 5%. Pertumbuhan ini didorong oleh penjualan dipasar domestik dengan momen lebaran, ekspor yang mulai membaik karena freight cost yang mulai turun dan permintaan yang mulai naik," lanjut Redma.
(hoi/hoi)