
Industri Tekstil Terus Tertekan, Sekelas Sritex Saja 'Goyang'

Jakarta, CNBC Indonesia - Raksasa tekstil Sritex terancam delisting atau dihapus dari perdagangan bursa. Suspensi perdagangan saham SRIL bermula ketika perusahaan mengalami gagal bayar atas utang-utang jangka pendeknya hingga di-suspend di bursa sampai 12 bulan.
Ketika raksasa sekelas Sritex saja mengalami masalah keuangan, bagaimana dengan industri garmen kecil menengah yang tidak memiliki modal sebesar SRIL. Salah satu persoalan utama saat ini adalah munculnya gelombang impor produk garmen maupun tekstil setelah Kemendag kembali memberikan ijin impor bagi API-U atau angka pengenal importir umum.
"Memang ada isu kenaikan harga bahan baku terutama di cotton yang naik hampir 2 kali lipat. Kalau di Polyester dan Rayon kenaikannya tidak lebih dari 8%," sebut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta kepada CNBC Indonesia, Jumat (20/5/22).
Perusahaan yang tidak bisa beralih dari cotton ke polyester atau rayon memang mengalami tekanan yang cukup besar.
"Memang ada beberapa perusahaan yg sulit switch ke poly dan rayon karena setting mesinnya, sebagian lagi karena sistim beli cotton nya yang terkadang harus spot, padahal mereka sudah kontrak dengan buyer pakai harga lama," sebut Redma.
Selain persoalan bahan baku, ada juga masalah lain yang muncul, yakni biaya produksi yang membengkak. Hal ini tidak lepas dari kenaikan harga baru bara.
"Sebagian lagi ada yg harus mematikan pembangkit batu-bara nya dan beralih ke PLN, jadi ada kenaikan biaya listrik, meskipun masih mending daripada mereka paksakan jalankan pembangkitnya sendiri," sebut Redma.
Berbagai persoalan di perusahaan tekstil itu menjadi indikasi bahwa sektor ini sedang dalam tekanan. Meski ada kenaikan permintaan di dalam negeri, namun biaya yang harus ditanggung juga cukup besar hingga harus berhutang ke pihak ketiga.
Sebagai contoh, Per Desember 2020, utang bank jangka pendek SRIL tercatat mencapai US$ 277,5 juta padahal di tahun sebelumnya masih US$ 67,6 juta.
Sementara itu SRIL juga memiliki surat utang jangka menengah atau Medium Term Note (MTN) senilai US$ 25 juta. Sedangkan utang bank jangka panjang yang jatuh tempo satu tahun senilai US$ 6,2 juta.
Jika ditotal, kewajiban SRIL yang memiliki beban bunga mencapai US$ 308,7 juta. Beban keuangan SRIL mencapai US$ 75,5 juta. Sedangkan kas dan setara kas perseroan hanya mencapai US$ 187,6 juta.
Dengan gagal bayarnya utang jangka pendek tersebut SRIL harus menghadapi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Tak tanggung-tanggung proses PKPU yang dihadapi ada tiga di jurisdiksi yang berbeda-beda mulai dari Indonesia, Singapura, hingga Amerika Serikat (AS).
Adanya proses PKPU tersebut juga membuat SRIL tak membayar pokok dan bunga utang atas MTN yang dimiliki senilai US$ 25 juta.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Direktur Keuangan Sritex Allan Moran Severino disebutkan bahwa tak dibayarkannya MTN ini merupakan dampak dari PKPU yang saat ini dijalankan perusahaan.
Selanjutnya disebutkan juga bahwa perusahaan tidak boleh melakukan pembayaran utang, termasuk MTN yang jatuh tempo pada 18 Mei 2021, kecuali perusahaan melakukan pembayaran utang atas semua utangnya kepada kreditor.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sritex Gagal Bayar Utang, Industri Tekstil Semenderita Itu?