Jurus Jitu Petrosea Dukung Transisi Energi RI

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
13 May 2022 08:30
Doc Petrosea
Foto: Doc Petrosea

Jakarta, CNBC Indonesia - Batu bara kini memang masih menjadi primadona dunia sebagai sumber energi, terutama untuk pembangkit listrik. Namun demikian, dalam jangka panjang, industri batu bara akan menghadapi tantangan nyata yang takkan terelakkan, yakni netral karbon atau Net Zero Emission.

Pemerintah Indonesia sendiri juga sudah mendeklarasikan untuk mencapai netral karbon pada 2060 mendatang atau bahkan lebih cepat. Pemerintah berencana untuk mengurangi pemakaian atau melakukan pensiun dini sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara mulai 2026 mendatang sebagai salah satu upaya menjalankan transisi energi menuju netral karbon tersebut.

Bahkan, pemerintah berencana akan mengikrarkan komitmennya untuk memensiunkan dini 5,5 Giga Watt (GW) PLTU batu bara hingga 2030 dalam acara G20 di Bali pada Oktober-November 2022 mendatang.

Bila ini terjadi, maka tentunya permintaan batu bara di dalam dan luar negeri akan semakin berkurang. Pada akhirnya, industri pertambangan RI juga bakal terkena imbasnya.

Namun di sisi lain, cadangan batu bara RI masih sangat besar. Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2019, sumber daya batu bara RI tercatat mencapai 149 miliar ton dan cadangan batu bara RI tercatat mencapai 37,61 miliar ton, terbesar keenam di dunia.

Lantas, bagaimana nasib industri jasa pertambangan RI ke depannya? Bagaimana industri pertambangan menghadapi tantangan transisi energi ini?

Isu transisi energi ini sudah disadari oleh sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor jasa pertambangan batu bara, salah satunya PT Petrosea Tbk (PTRO).

Presiden Direktur Petrosea Hanifa Indradjaya mengatakan, Petrosea merespons kebijakan global saat ini dengan terus bertransformasi, serta melakukan diversifikasi usaha dengan merambah ke industri pertambangan mineral lainnya seperti bauksit, emas dan nikel.

"Business model terbarukan yang diimplementasikan adalah dengan memanfaatkan teknologi terkini sebagai enabler Petrosea untuk mendukung transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT)," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (13/05/2022).

Lantas, langkah-langkah seperti apa yang diambil Petrosea dalam menghadapi transisi energi ini? Simak di halaman berikutnya..

Berdiri sejak 1972, Petrosea menjalankan bisnis di beberapa sektor, mulai dari jasa pertambangan batu bara, minyak dan gas bumi, serta rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC).

Adapun bisnis kontrak jasa pertambangan berkontribusi terbesar terhadap pendapatan perusahaan. Selama kuartal I 2022, jasa pertambangan berkontribusi sebesar 62,81% dari total pendapatan perusahaan yang tercatat mencapai US$ 95,79 juta atau sekitar Rp 1,37 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$). Sementara bisnis EPC berkontribusi sebesar 21,69%, dan jasa logistik sebesar 14,76%.

Pada kuartal I 2022, perusahaan memproduksi 3,63 juta ton batu bara dan overburden removal 24,70 juta BCM.

Presiden Direktur Petrosea Hanifa Indradjaya mengatakan, dalam menghadapi tantangan netral karbon ini, perusahaan menginisiasikan strategi 3D, yakni Diversifikasi, Digitalisasi, dan Dekarbonisasi.

Diversifikasi maksudnya yaitu perusahaan berencana mengurangi ketergantungan pada kontrak pertambangan batu bara dan merambah ke industri pertambangan lainnya, seperti bauksit, emas, dan juga nikel yang berperan dalam pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik.

Sementara digitalisasi, perusahaan telah melakukan transformasi digital melalui Project Minerva sejak 2018, serta mengembangkan model bisnis terbarukan dengan mengadopsi solusi teknologi digital dan jasa konsultasi terintegrasi.

Hanifa mengakui bahwa selama 50 tahun perusahaan berkiprah, tantangan besar yang dihadapi adalah terkait ketidakpastian dan volatilitas dari sektor pertambangan batu bara dan perekonomian global.

Dengan digitalisasi, maka menurutnya Petrosea juga terus mengedepankan cara kerja baru yang lincah agar perusahaan selalu siap dalam menghadapi kondisi global yang berubah-ubah tersebut.

Dia mengatakan, transformasi digital dilaksanakan untuk memicu transformasi Petrosea secara menyeluruh melalui berbagai inovasi teknologi, inisiatif change management serta pemutakhiran mata rantai di seluruh elemen perusahaan.

"Tujuannya adalah menjadikan Petrosea sebagai organisasi yang lebih lincah dan cost effective untuk terus memperkuat kinerjanya," ujarnya.

Sementara terkait dekarbonisasi, menurutnya ini erat kaitannya dengan unsur diversifikasi. Perusahaan berkomitmen untuk memperbanyak kontrak-kontrak dengan perusahaan tambang non emisi, serta pendukung program energi baru terbarukan pemerintah.

Dia mengatakan, perusahaan juga berkomitmen untuk memprioritaskan unsur lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik atau Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam menjalankan setiap aktivitasnya untuk mendukung tujuan pengembangan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs).

Strategi 3D ini menurutnya sebagai upaya strategis untuk menjaga keberlanjutan usaha, serta mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dan melakukan value creation bagi seluruh para pemangku kepentingan (stakeholder).

"Melalui implementasi strategi 3D, diharapkan ke depannya Petrosea akan menjadi sustainable technology resources company demi mendukung transisi energi ke energi baru terbarukan dan pengembangan sumber daya mineral lainnya," jelasnya.

Dia menegaskan, ke depannya perusahaan akan terus mengembangkan ke jasa pertambangan lainnya dan melakukan rekayasa, pengadaan, dan konstruksi dengan dukungan teknologi yang mutakhir.

"Ke depannya, Petrosea akan terus mengembangkan berbagai jasa/ services di sektor pertambangan, serta EPC (Engineering, Procurement, and Construction) yang didukung oleh teknologi dan kemampuan digital terkini," pungkasnya.

Senada dengan yang dijalankan Petrosea, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) juga menilai bahwa kini sudah saatnya perusahaan tambang untuk melakukan diversifikasi usahanya, tidak lagi berfokus pada pertambangan batu bara saja.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan, diversifikasi bisnis ini diperlukan agar perusahaan jasa pertambangan tetap bisa bertahan meski di tengah tantangan transisi ke energi baru terbarukan.

"Jika masih mau eksis di bisnis pertambangan, kebanyakan pengusaha batu bara beralih dengan mencoba industri pertambangan mineral seperti nikel, emas, iron ore, bauksit, timah atau dengan membangun smelter untuk industri logam atau masuk ke bisnis energi baru terbarukan," paparnya.

Rizal mengakui, dari sudut pandang global, industri pertambangan batu bara memang akan "sunset" alias tenggelam. Namun demikian, menurutnya ini tidak akan berdampak pada penurunan permintaan batu bara secara langsung dan drastis.

Menurutnya, permintaan batu bara di dalam negeri masih akan tetap tinggi untuk melayani industri domestik dan mengonversi batu bara menjadi bahan baku gas atau hilirisasi batu bara seperti Dimethyl Ether (DME) dan produk lainnya seperti ethanol, methanol.

"Namun sebanyak-banyaknya kebutuhan domestik, tetap tidak akan dapat menggantikan volume yang selama ini diperuntukkan untuk keperluan ekspor sebesar 450-480 juta ton," ungkapnya.

Seperti diketahui, produksi batu bara RI pada 2021 tercatat mencapai 614 juta ton. Namun, pemakaian domestik hanya sebesar 133 juta ton, sehingga selebihnya masih dijual keluar negeri.

Pada 2022 ini, produksi batu bara RI ditargetkan naik menjadi 663 juta ton dan konsumsi dalam negeri sebesar 165,7 juta ton.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular