
Bikin Sulit Berkata-kata, Ini Biang Kerok Anjloknya Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah dipaksa bertekuk lutut di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang hari kemarin. Bahkan rupiah berada di level terlemah dalam 10 bulan terakhir.
Melansir data Refinitiv, rupiah kemarin mengakhiri perdagangan di Rp 14.555/US$, merosot 0,41%. Sementara itu indeks dolar AS kemarin sempat menyentuh 104,187 yang merupakan level tertinggi dalam 20 tahun terakhir.
Apa penyebabnya?
Pergerakan mata uang di dunia saat ini dipicu oleh kebijakan bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan. Diikuti oleh bank sentral lain, termasuk Bank of England (BoE).
The Fed memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin menjadi 0,75-1%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir. Tidak hanya itu, ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan akan kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin dalam pertemuan mendatang.
"Investor global terus melakukan shifting investasi dari emerging markets ke developed markets," ungkap Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/5/2022).
AS kini menjadi tujuan investor. Apalagi imbal hasil yang ditawarkan juga semakin tinggi, di mana untuk obligasi tenor 10 tahun sudah mencapai 3.1%. Modal yang selama ini bertengger di tanah air pun ikut kabur.
"Imbal hasil investasi obligasi AS yg meningkat juga terus mendorong capital outflow di emerging markets, baik dari sisi pasar obligasi maupun yang terbaru di pasar saham," paparnya.
Senada dengan hal tersebut, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan faktor pendorong lainnya adalah situasi ketidakpastian dari perang Rusia dan Ukraina serta pelemahan ekonomi China.
Biro Statistik Nasional China (NBS) merilis data pertumbuhan ekonomi Negeri Panda periode kuartal I-2022. Hasilnya, Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 4,8%. Namun ke depan, sepertinya prospek ekonomi China agak samar-samar.
Realisasi pertumbuhan ekonomi 4,8% lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yang 'hanya' 4%. Juga lebih tinggi ketimbang ekspektasi pasar yakni 4,4%.
"Sentimen potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk rupiah," kata Josua.
Tekanan tersebut terlalu berat, sehingga realisasi perekonomian kuartal I-2022 Indonesia yang baru diumumkan tak mampu juga memberikan perlawanan. Ekonomi berhasil tumbuh 5,01%.
"Risk-off sentiment di pasar keuangan global yang terjadi ketika pasar domestik tutup masih mendominasi pelemahan IHSG, koreksi di pasar SUN sehingga mendorong pelemahan rupiah," terangnya.
Josua tetap optimis, Bank Indonesia (BI) mampu menjaga kestabilan nilai tukar lebih baik dari negara di kawasan. Sederet intervensi sudah tersedia demi mengamankan pergerakan rupiah.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar AS Mau 'Dipunahkan' Berulang Kali, Tapi Tak Berhasil!