
Ini Kerugian dan Dampak Negatif Larangan Ekspor CPO Bagi RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan sejumlah produk turunannya yang dimulai sejak Kamis (28/4/2022) ternyata membawa banyak dampak negatif terhadap Indonesia.
Dampak-dampak yang timbul disadari oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu efek dari kebijakan ini yakni berkurangnya devisa dan penerimaan negara. Larangan ekspor membuat negara tak bisa meraup pemasukan dari transaksi jual/beli CPO yang kerap mendatangkan untung.
Berdasarkan catatan Tim Riset CNBC Indonesia, pemerintah diperkirakan kehilangan penerimaan negara dan pungutan ekspor hingga Rp 13 per triliun per bulan akibat kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Di sisi lain, produksi sawit juga akan alami penurunan. Sehingga menjadi beban bagi para petani.
"Saya tahu negara perlu pajak perlu, devisa perlu surplus neraca perdagangan tapi memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting," kata Jokowi dikutip Jumat (29/4/2022).
Agar dampak berantai kebijakan ini tak bertahan lama, Jokowi meminta para pelaku industri minyak sawit sadar akan kewajibannya memenuhi kebutuhan dalam negeri alih-alih ekspor. Dia menyebut selama ini volume minyak sawit yang diekspor masih jauh lebih tinggi dibanding kebutuhan dalam negeri.
Larangan ekspor bahan baku minyak goreng, termasuk CPO, dan minyak goreng berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk kawasan berikat.
"Masih ada sisa kapasitas yang sangat besar jika kita semua punya niat memenuhi kebutuhan rakyat sebagai prioritas, dengan mudah kebutuuhan dalam negeri bisa tercukupi," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa larangan berlaku untuk ekspor semua produk sawit, baik minyak kelapa sawit (CPO), dan turunannya termasuk RPO, RBD Palm Olein, POME, dan used-cooking oil.
"Kebijakan pelarangan ini didetailkan yaitu berlaku untuk semua produk, baik itu CPO, RPO, RBD Palm Olein, POME, dan used-cooking oil. Ini semuanya sudah tercakup dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan akan diberlakukan mulai malam hari ini jam 00.00," tutur Airlangga dalam keterangan pers.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira menilai kebijakan larangan ekspor kurang begitu efektif dalam menstabilkan minyak goreng.
"Karena, pengusaha sawit yang kehilangan pendapatan dari ekspor CPO akan mengompensasikan kerugian ke marjin harga produk turunan, termasuk minyak goreng," kata Bhima.
Menurutnya, kebijakan ini akan berdampak lebih buruk jika larangan ekspor hanya berlaku singkat, sementara harga patokan CPO tetap tinggi. Dengan begitu, minyak goreng kemasan yang masih menggunakan mekanisme pasar akan semakin mahal.
Berkaca dari data neraca dagang per Maret 2022, nilai ekspor CPO mencapai US$3 miliar setara Rp43 triliun/bulan.
Jika larangan ekspor dilakukan selama sebulan penuh akan membuat nilai ekspor sebesar itu akan hilang. Pada gilirannya, hal ini juga bakal berimbas ke pelemahan nilai tukar rupiah. Pasalnya, sekitar 12% dari total ekspor nonmigas nasional bersumber dari pengapalan CPO.
"Devisa yang hilang, justru mengalir ke pemain minyak nabati pesaing Indonesia seperti Malaysia misalnya yang menikmati limpahan permintaan, atau pemain soybean oil dan sunflower oil juga dapat rezeki," sebutnya.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mengaku tengah berkoordinasi dengan seluruh pelaku usaha untuk menjamin kelancaran kebijakan pemerintah.
"Agar tercapai ketersediaan minyak goreng sesuai dengan harga yang ditetapkan di masyarakat," kata Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi.
(cha/cha)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekspor CPO Dilarang, Negara Mana Saja yang Pakai Migor RI?
