
Ini Skenario Bila Harga LPG 3 Kg dan Pertalite Tak Naik

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah berencana menaikkan harga LPG 3 kg dan bahan bakar minyak (BBM) Pertalite. Penyesuaian ini dilakukan mengingat anggaran subsidi energi telah melonjak sangat tajam dari Rp 32,8 triliun pada 2020 menjadi Rp 66,3 triliun pada tahun ini.
Kenaikan harga LPG 3 kg dan Pertalite juga sebagai langkah pemerintah dalam menyesuaikan situasi energi global saat ini, yang membuat suplai minyak terhambat dari Rusia.
Pada saat yang sama, negara-negara eksportir minyak yang tergabung dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) tidak dapat menutupi defisit kebutuhan minyak dunia, sehingga harga minyak dan gas melambung.
Ekonom menilai, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menaikkan harga LPG 3 kg dan Pertalite, mengingat ekonomi masyarakat masih belum pulih, akibat dampak pandemi Covid-19.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengungkapkan, momentum untuk menaikkan harga LPG 3 kg dan Pertalite seharusnya dilakukan sampai pergerakan inflasi relatif stabil.
"Setelah beberapa bulan atau 1-2 bulan setelah Lebaran 2022. Jadi efek Lebaran sudah turun, efek minyak goreng sudah turun, dan sebagainya. Tapi, kenaikannya memang tidak bisa tinggi," ujar Tauhid kepada CNBC Indonesia, Selasa (26/4/2022).
Kenaikan harga LPG 3 kg dan Pertalite bisa ditunda dengan menambahkan anggaran subsidi yang bersumber dari windfall kenaikan harga komoditas. Penerimaan negara tumbuh tinggi 32,1% atau sudah terkumpul Rp 501 triliun di akhir Maret 2020 secara tahunan (year on year/yoy).
Pun jika nantinya pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga Gas 3 kg dan Pertalite, pemerintah seharusnya bisa menanggung beban kenaikan menggunakan APBN.
Dalam APBN 2022 pemerintah memperkirakan harga minyak Indonesia (ICP) sebesar US$ 63 per barel. Bila kenaikan harga BBM dan LPG 3 kg ini tidak jadi dilakukan, maka pemerintah, kata Tauhid harus siap-siap menambah subsidi sekitar Rp 222 triliun lagi tahun ini.
"Kenaikan harga yang terjadi, paling tinggi sekitar US$ 90 dari harga asumsi ICP yang sebelumnya US$ 63. Artinya subsidi harus ditambah Rp 90 triliun. Kira-kira total Rp 132 triliun tambah Rp 90 triliun, jadi sekira Rp 222 triliun totalnya untuk menutupi agar gak naik," jelas Tauhid.
Sebelumnya, hal senada diungkapkan oleh Montty Girianna, Deputi III Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha Milik Negara, Riset dan Inovasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Montty menjelaskan, dengan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) naik menjadi US$ 100 per barel, maka perkiraan tambahan subsidi Solar dan LPG 3 kg mencapai sekitar Rp 66 triliun dari Rp 70 triliun - Rp 80 triliun dalam APBN 2022 saat asumsi ICP US$ 63 per barel.
Selain itu, tambahan kompensasi atas penjualan bensin Pertalite dan Solar subsidi sekitar Rp 200 triliun ketika ICP melonjak menjadi US$ 100 per barel.
"Jadi, total itu kita harus nombok Rp 280 triliun kalau kita tidak menaikkan harga di Pertalite, Solar, dan LPG kalau ICP-nya kita set di US$ 100 per barel," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (25/04/2022).
"Sekarang masalahnya adalah apakah kita mau harga tetap tapi kita harus membelanjakan subsidi dan membayar kompensasi sebesar itu atau kita cari cara lain, sehingga angka sebesar itu bisa kita minimize ya," kata Montty melanjutkan.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pemerintah Mau Naikkan Harga LPG 3 Kg, Segawat Itu kah APBN?