
Melihat Sri Lanka Sebagai 'Cermin' Bagi Perekonomian RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah riset organisasi yang peduli dengan upaya pengentasan kemiskinan global memperkirakan, hampir 30 negara berpotensi gagal bayar utang, salah satunya adalah Sri Lanka.
Dampak perang Rusia-Ukraina pada pasar global dan pandemi yang masih merajalela menjadi pemicunya. Apapun peristiwa yang terjadi di negara atau belahan dunia lain, bukan tidak mungkin suatu saat terjadi di Indonesia, jika tidak ada langkah antisipasi.
Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Ekonomi, Wijayanto Samirin mengungkapkan, pengalaman bangsa lain harus menjadi perhatian bersama bagi negara Indonesia yang sangat dinamis perkembangannya.
"Struktur ekonomi dan kondisi ekonomi Sri Lanka agak mirip dengan Indonesia, sehingga membedah Sri Lanka amat penting bagi Indonesia sebagai pembelajaran," jelas Wijayanto dalam siaran resminya, Minggu (24/4/2022).
Image Sri Lanka, yang kacau dan rusuh, kata Wijayanto mau tidak mau memperparah situasi. "Turisme, investasi, obligasi juga pasti terpengaruh menurun. Recovery Sri Lanka menjadi terhambat," ujarnya lagi.
Krisis ekonomi yang dialami Sri Lanka merupakan krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan negara itu pada 1948. Kesalahan telah jatuh di atas tahta kepemimpinan Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Rajapaksa terpilih pada 2019 di tengah semangat nasionalistik dan gelombang dukungan dari mayoritas Buddha Sinhala di negara itu.
Kendati demikian selama tiga tahun terakhir, di bawah kepemimpinannya, ada apa yang disebut banyak orang sebagai 'salah urus keuangan' membuat ekonomi negara pengekspor teh terbesar kedua di dunia itu telah terjun bebas.
Protes kini meluas meminta agar Rajapaksa mengundurkan diri, namun dirinya bersikukuh tak mau mengundurkan diri. International Monetary Fund (IMF) kini diminta segera untuk mengucurkan dana talangan untuk membantu krisis di negara itu.
"Bisa disimpulkan, yang terjadi di Sri Lanka adalah demokrasi yang terdegradasi. Ada begitu banyak aktivitas anti demokrasi yang dilakukan para politisi Sri Lanka," jelas Wijayanto.
Akibat demokrasi yang terdegradasi, muncul politisi dan pemerintahan yang lalai dan korupsi. Hasilnya, kerap muncul kebijakan yang buruk. Tidak untuk kepentingan rakyat, tapi untuk interest kelompok, investor, politik, dan etnis.
"Kondisi Sri Lanka yang seperti itu, merupakan warning bagi Indonesia untuk sekadar mengingatkan jika ada hal-hal yang sama terjadi di Indonesia," ujar Wijayanto lagi.
Karena buruknya kebijakan, maka akibatnya fiskal bangkrut dan masyarakat Sri Lanka sengsara. Utamanya karena dia tidak mempunyai lagi cukup valas untuk membayar utang-utang luar negeri yang dulu dibayar dengan devisa remittance buruh migran, investasi, dan turisme. Berikutnya terjadi lingkaran yang menyengsarakan di Sri Lanka.
Untuk diketahui ONE, sebuah organisasi yang peduli dengan upaya pengentasan kemiskinan global, memperkirakan yang berpotensi terseret gagal bayar utang mengikuti Rusia dan Sri Lanka adalah 23 negara termiskin di benua Afrika.
Saat ini, 59% negara Afrika yang dinilai bangkrut atau berisiko tinggi mengalami kesulitan membayar utang.
ONE menyebut jika prediksi itu benar, sekitar 20 juta orang beresiko masuk kategori kemiskinan ekstrim jika 16 negara paling berisiko Afrika jatuh ke dalam gagal bayar utang. Utang sejumlah negara di Afrika yang jatuh tempo di 2022 sebesar US$ 64 juta.
(vap/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gila! Sudah Bangkrut, Negara Ini Naikan Tarif Listrik 275%