Ekonomi Dunia Diramal Makin Memburuk, RI Apa Kabar?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
22 April 2022 11:55
Perang Hingga Inflasi, BI Pangkas Proyeksi PDB RI 2020 Jadi 4,5-5,3%  (CNBC Indonesia TV)
Foto: Perang Hingga Inflasi, BI Pangkas Proyeksi PDB RI 2020 Jadi 4,5-5,3% (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral Negara G20 di Amerika Serikat, adalah dampak yang terjadi dari perang Rusia dan Ukraina.

Perry menjelaskan, dari diskusi bersama anggota negara G20, dampak perang Rusia ke Ukraina ke perekonomian global terjadi pada jalur perdagangan yang menyebabkan disrupsi rantai pasok dan harga komoditas yang membuat tingkat inflasi meningkat.

Seperti diketahui, Rusia merupakan salah satu negara eksportir minyak gas, serta Ukraina merupakan salah satu negara eksportir terbesar untuk kebutuhan pangan seperti gandum dan pupuk.

Masalah terganggunya rantai pasok, membuat pertumbuhan ekonomi global melambat.

"Seperti diketahui IMF (International Monetary Fund) sudah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,6% dari sebelumnya 4,4% untuk tahun ini," jelas Perry dalam High Level Discussion, bertajuk 'Strengthening Economic Recovery Amidst Heightened Uncertainty', Jumat (22/4/2022).



Terbatasnya kebutuhan komoditas energi dan pangan di dunia, membuat harga melejit. Tingkat inflasi yang tinggi bukan hanya terjadi di negara maju, tapi juga negara berkembang.

"Ini adalah masalah yang jauh lebih serius. Sementara ruang fiskal terbatas untuk beberapa negara berkembang. Ini masalah serius tentang bagaimana untuk memulihkan," tuturnya lagi.

Untuk mengatasi inflasi yang tinggi, bank sentral di beberapa negara maju sudah mulai melakukan normalisasi kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan.

Dalam mengatasi dampak tersebut, lanjut Perry, negara anggota G20 juga telah memiliki beberapa solusi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Solusi jangka pendek, yaitu untuk mengatasi dampak inflasi di sejumlah negara.

"Diskusi antar negara G20 telah berkomitmen dalam proses normalisasi, bank sentral harus terkalibrasi dengan baik, mengkomunikasikan dengan baik, dan merencanakannya dengan baik. Dengan begitu banyak negara terutama negara berkembang siap untuk memitigasi ini," jelas Perry.



Dalam jangka pendek, negara-negara berkembang yang juga merupakan anggota G20 menyepakati untuk memperkuat kebijakan ekonomi makro, fiskal, dan moneter.

Negara anggota G20 berkomitmen untuk pulih bersama dan pulih lebih kuat untuk mengatasi jangka pendek. Adapun dalam jangka panjang, sudah masuk dalam agenda sebelumnya, yakni untuk melakukan reformasi restrukturisasi untuk mengatasi scaring effect dari pandemi Covid-19.

"Bagaimana mengatasi masalah utama, mengatasi sistem pembayaran digital, central bank digital currency (CBDC), sistem keuangan berkelanjutan, ekonomi hijau berkelanjutan. Agenda-agenda tersebut sedang berjalan untuk juga mengatasi dampak perang di Ukraina," tutur Perry.

Lantas bagaimana dampak perang Rusia dan Ukraina ke Indonesia?

Perry menilai, Indonesia cukup beruntung, karena dampak langsung dari perang Rusia dan Ukraina tidak begitu signifikan. Indonesia hanya terkena dampak tidak langsung dari perang.

"Dampak tidak langsungnya adalah jalur perdagangan, menurunnya pertumbuhan ekonomi global. Tentu saja, kontribusi ekspor riil kita terhadap PDB akan turun. Itu mengapa baru-baru ini BI merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,3% - 4,5% dari sebelumnya 4,7% - 5,5%," tutur Perry.



Adapun dampak dari tingginya harga komoditas yang terjadi saat ini, kata Perry sangat tergantung dari bagaimana kebijakan fiskal yang ada di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Kendati demikian, Perry memastikan bahwa berdasarkan komunikasinya dengan Sri Mulyani, dampak harga energi dan pangan yang tinggi tidak akan melimpahkannya kepada konsumen.

"Beberapa soal harga BBM seperti Premium dan solar masih bersubsidi. Listrik masih bersubsidi. Juga harga komoditas yang tinggi meningkatkan penerimaan APBN dari kenaikan harga ini," tutur Perry.

"Yang saya pahami, Sri Mulyani masih mengkalibrasi untuk menyesuaikan kebijakannya dengan tepat. Terutama untuk meredam inflasi yang juga banyak akan diserap oleh fiskal," kata Perry melanjutkan


(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI: Pertumbuhan Ekonomi Global Berisiko Lebih Rendah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular