
Bukan Resesi Biasa, Dunia Diprediksi Ambruk ke 'War-cession'

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian global diprediksi memasuki periode resesi yang bukan dipicu oleh buruknya fundamental perekonomian, melainkan karena situasi darurat (force majeur) yakni konflik Ukraina-Rusia. Istilahnya: war-cession.
Perencana investasi legendaris, David Roche, menilai konflik Ukraina yang meledak di tengah inflasi yang meninggi dan perekonomian global yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi bakal memperburuk situasi hingga melemparkannya ke zona resesi.
Kepada CNBC International, Presiden Independent Strategy tersebut menilai dugaan kekejaman tentara Rusia terhadap masyarakat Ukraina akan memicu konflik yang kian meruncing sehingga mempersulit peluang negosiasi damai antara kedua negara yang berseteru tersebut. Apalagi, Blok barat menilai perang hanya bisa dihentikan dengan pergantian rezim di Rusia.
"Dia tak akan menegosiasikan penarikan mundur pasukan demi mendapatkan keringanan sanksi, sehingga sanksi-sanksi tersebut masih akan berlaku dan menurut saya implikasinya bagi Eropa adalah anda akan melihat resesi, karena sanksi akan terus bertambah dan menuju blokade ekonomi secara penuh," tutur Roche.
Negara Uni Eropa pekan lalu menyetujui sanksi baru terhadap Rusia, merespons tudingan kekerasan seksual, penyiksaan, dan eksekusi warga sipil, termasuk embargo penuh terhadap impor batu bara asal Rusia. Eropa juga mempertimbangkan penambahan sanksi baru termasuk embargo penuh impor minyak, batu bara, bahan bakar nuklir, dan gas.
Rusia dilanda berbagai tudingan kejahatan perang, salah satunya serangan roket terhadap wilayah Kramatorsk yang dikendalikan oleh tentara Ukraina dan membunuh 50 orang lebih dan melukai 100 orang lainnya.
Meski Rusia membantah keras tuduhan di balik serangan itu dan menuding Ukraina sebagai pelakunya dengan dalih arah proyektil berasal dari wilayah yang dikuasai Ukraina, Blok Barat tidak mempedulikannya, dan terus memberlakukan sanksi yang justru berdampak negatif terhadap perekonomian mereka sendiri dan perekonomian global.
"Ini menjadi kejutan serius dari sisi suplai bahan pangan, energi, logam dan seterusnya. Ini akan terus berlanjut sementara secara bersamaan kita menghadapi inflasi di seluruh dunia dan kenaikan suku bunga acuan," tambah Roche.
Menurut dia, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah (US Treasury) tenor 30 tahun setidaknya akan berada di level 3,5% - dan kita melihat ada disrupsi pasokan di China menyusul Covid-19, yang banyak dibicarakan orang.
Oleh karena itu, Roche menilai pasar saham akan kesulitan melanjutkan penguatan, sementara inflasi yang menyentuh level tertinggi secara historis akan segera melemah di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat. Pola demikian umumnya berujung pada resesi.
"Dalam resesi yang normal, produksi dan permintaan melemah, inflasi juga turun. Di tengah resesi yang akan kita hari ini, 'war-cession,' anda akan melihat produksi anjlok sementara harga barang dan inflasi melonjak [akibat perang]," tuturnya.
Gejala tersebut, lanjut dia, terlihat dalam pasar tenaga kerja yang tidak seirama dengan pertumbuhan ekonomi, di harga komoditas yang melonjak. Akan ada situasi yang sangat aneh di mana bank sentral harus melakukan pilihan berat antara mengendalikan inflasi atau menjaga pertumbuhan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jepang Resesi, Bukan Ekonomi Terbesar ke-3 Dunia Lagi!