Kepemimpinan RI, Perang Rusia Vs Ukraina & Rivalitas AS-China

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
Selasa, 05/04/2022 19:28 WIB
Foto: Ilustrasi bendera merah putih (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia selaku Presiden G20 tahun ini diharapkan dapat memosisikan diri sebagai pemimpin yang mampu menginisiasi dialog antara Rusia dan Ukraina. Akan tetapi, Indonesia juga menghadapi tantangan dengan menguatnya rivalitas Amerika Serikat (AS) dan China.

Dalam paparan yang disampaikan pada kuliah umum daring bertajuk, "Kepemimpinan Indonesia di Tengah Rivalitas AS dan Tiongkok dan Proyeksi Tata Dunia Baru" yang diselenggarakan oleh Departemen Hubungan Internasional Paramadina, Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD), Centre for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) dan Centre for International and Diplomacy Studies (CIDS), Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Indonesia Andi Widjajanto menjelaskan dinamika interaksi antara AS-China berjalan sangat dinamis. Namun, titik tegang muncul antara tahun 2018-2019 dengan terjadinya perang dagang yang menghantarkan kedua negara ke dalam suasana kompetisi.

"Ada yang beranggapan bahwa sekarang kita masuk Perang Dingin 2.0. Perang Dingin 1.0 Amerika Serikat dengan Uni Soviet dengan faktor ideologi dan blok militer yang sangat keras. Sementara Perang Dingin 2.0 aspek ideologinya cenderung tidak ada, aspek blok militernya juga cenderung tidak ada, tapi kemudian lebih mengarah pada persaingan atau bahkan pertarungan yang berkaitan dengan aspek infrastruktur, aspek perdagangan dan aspek teknologi," ujar Andi.


Khusus di kawasan Asia-Pasifik, rivalitas antar kedua negara hadir dalam bentuk persaingan pengaruh yang tercermin dari visi pembangunan arsitektur kawasan. AS bersama Jepang, India, dan Australia menginisiasi Quadrilateral Security Dialogue (QUAD) sebagai forum keamanan, sedangkan China dengan Belt and Road Intiviative (BRI) berupaya membangun infrastruktur strategis di wilayah sekaligus mendapatkan akses ke sumber daya strategis, terutama energi dan pangan.

"Belt and Road Initiative [Tiongkok] pada dasarnya sudah berusaha melakukan proyeksi global terutama untuk membangun koridor-koridor yang memungkinkan Tiongkok memiliki pasar baru," ujar Andi.

Selain itu, rivalitas juga terlihat dari dinamika pembangunan Pangkalan Aju di kawasan Asia-Pasifik, di mana China mulai mendirikan pangkalan yang awal mulanya lebih didominasi oleh AS. Melihat persaingan kedua negara dalam memperebutkan posisi geostrategis di kawasan, posisi Indonesia tidak lagi bisa disebut sebagai posisi strategis, tetapi harus diantisipasi sebagai kerawanan.

"Posisi strategis Indonesia kalau kita tidak memiliki kemampuan melakukan proyeksi kekuatannya langsung berubah menjadi kerawanan strategis yang harus kita tutup," kata Andi.

Hal tersebut berkaitan dengan posisi Indonesia yang nyatanya masih memiliki kesenjangan dalam hal kapasitas militer. Dalam upaya menyikapi persaingan militer AS dan China di kawasan, Andi menekankan pada kondisi Indonesia yang membutuhkan waktu dalam hal modernisasi pertahanan.

Andi juga menjabarkan dua proyeksi pola interaksi AS terhadap China yang terbagi dalam skenario persaingan damai dan konflik militer. Yang menjadi kekhawatiran utama adalah jika terjadi decisive battle, yakni perang yang memanfaatkan teknologi dengan daya hancur tinggi.

"Itu yang dikhawatirkan oleh Presiden Jokowi dalam amanatnya 5 Oktober 2020, 75 tahun TNI. Hati-hati dengan karakter perang masa depan yang high level of technology, high level of destruction dan decisive battle," ujar Andi.

Terkait Presidensi G20, Andi menunjukkan optimisme bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina akan berakhir damai sebelum pelaksanaan G20 di Bali.

"Apakah nanti kita harus mengundang Rusia Putin dalam KTT G20, saya sebagai akademisi akan heran, akan sangat sangat heran kalau November 2022 perundingan damai antara Rusia dan Ukraina belum tercapai," kata Andi.

Namun, merujuk pada skenario persaingan damai, kekhawatiran muncul ketika AS menerapkan proteksionisme sebagai akibat dari Perang Dagang dengan China. Di tengah kondisi dunia yang sedang mengalami resesi ekonomi sebagai dampak dari pandemi Covid-19 dengan harapan negara-negara besar dapat berupaya untuk mengatasi krisis tersebut, yang terjadi adalah rivalitas ekonomi, khususnya antara AS dengan China.

"Kekhawatirannya tiga kata yang menjadi moto dari G20 Presidensi Indonesia; recover, recover together dan recover stronger, jadi recover together dengan stronger salah-salah tiga-tiganya tidak kejadian itu. Recover-nya tidak kejadian, together-nya tidak ada, stronger-nya juga tidak kejadian," ujar Andi.


(miq/miq)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Dagang Usai, Trump Umumkan Kesepakatan Baru AS-China