
Geger Ekonomi Sri Lanka Ambruk, Ini yang Terjadi

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi sedang melanda Sri Lanka. Negara yang berada di Asia Selatan ini disebut mengalami krisis terparah sepanjang sejarah sejak merdeka pada 1948.
Akhir pekan kemarin, Presiden Gotabaya Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat nasional. Protes keras karena ekonomi memburuk menjadi biang keladinya.
Jam malam-pun juga kini diterapkan. Lalu apa yang terjadi?
Krisis di Sri Lanka merebak sejak Februari lalu. Krisis ini ditandai oleh habisnya devisa negara diikuti oleh inflasi tajam.
Ketergantungan ke impor menjadi penyebab. Sri Lanka masih melakukan impor khususnya kepada bahan-bahan pertanian seperti pupuk, yang membuat produksi pertanian negara itu pun kacau, dan bahan bakar.
Belum lagi kewajiban membayarkan utangnya. Di tahun ini saja, Kolombo memiliki hampir US$ 7,3 miliar utang yang jatuh tempo kepada beberapa negara seperti China, Jepang, dan India.
Hal ini pun sontak membuat devisa negara itu kempes. Tercatat, semenjak PM Mahindra Rajapaksa memimpin pada 2019 lalu, cadangan devisa Sri Lanka telah berkurang dari US$7,5 miliar menjadi US$3,1 miliar Desember 2021 alu.
Kurangnya devisa ini pun berimbas pada naiknya nilai mata uang asing. Ini juga menaikan harga barang-barang impor yang mendorong inflasi.
Krisis pun merambat ke mana-mana. Negara itu pun kehabisan stok makanan di pasar-pasar.
Negara pun tak punya uang untuk membeli minyak guna bahan bakar. Ibu kota melaporkan antrian panjang untuk membeli bahan bakar, hingga menimbulkan korban tewas.
Bukan hanya itu, krisis juga merembet ke pemadaman bergilir warga. Penduduk harus merasakan mati lampu hingga 13 jam sehari.
Pemerintah Sri Lanka kini dikabarkan sedang meminta bantuan dari Lembaga Moneter Internasional (IMF) dan negara-negara tetangga. Bantuan diharap bisa membantu negara ini melewati krisis dan membawa kembali berbagai barang dan kebutuhan pokok untuk masyarakat.
Ketua lembaga think tank Advocatea Institute Murtaza Jafferjee berkata, Sri Lanka dalam 10 tahun terakhir terus menambah pinjaman kepada lembaga asing untung memperluas layanan publik. Akan tetapi, hal ini tidak diimbangi dengan terjadinya kesulitan ekonomi yang salah satunya muncul akibat musim hujan berkepanjangan pada 2016-2017, krisis konstitusi pada 2018, dan tragedi bom paskah pada 2019.
Pada 2019, Presiden Rajapaksasudah memutuskan untuk memangkas pajak sebagaiupaya untuk merangsang ekonomi. Akan tetapi kebijakan ini dianggap tidak berhasil mengungkit perekonomian Sri Lanka.
"Mereka salah mendiagnosis masalah dan merasa bahwa mereka harus memberikan stimulus fiskal melalui pemotongan pajak," kata Jafferjee.
Krisis di Sri Lanka mencapai puncaknya setelah pandemi Covid-19 terjadi. Hal ini membuat defisit neraca pemerintah membesar dan peringkat kredit negara ini mendekati level default.
Halaman 2>>