Lagi-lagi, Subsidi BBM Terancam Bengkak Ratusan Triliun

Maesaroh, CNBC Indonesia
30 March 2022 20:38
Suasana antrian pengemudi motor untuk mengisi BBM di SPBU Pertamina Kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu, (30/3/2022). (CNBC Indoneia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi SPBU (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Realisasi subsidi BBM tetap membengkak tiap tahun meskipun pemerintah telah melakukan reformasi dengan menentukan harga BBM sesuai fluktuasi harga minyak dunia sejak 2015.

Sepanjang 12 tahun terakhir (2012-2021), hanya empat kali realisasi subsidi BBM di bawah alokasi yang ditetapkan yakni pada tahun 2010, 2014, 2015, dan 2019. Pada periode tersebut, asumsi makro untuk harga minyak Indonesia (ICP) jauh di bawah yang ditetapkan.

Pada pertengahan November 2014, atau belum genap setahun memegang kekuasaan tertinggi di Indonesia, Presiden Joko Widodo sebenarnya telah mereformasi anggaran subsidi BBM.


Jokowi memastikan pemerintah tidak lagi menanggung subsidi BBM Premium (RON 88) mulai Januari 2015. Penentuan harga Premium mengacu pada fluktuasi harga minyak dunia yang dievaluasi pada periode tertentu. Pada periode tersebut, Premium merupakan BBM yang paling banyak dipakai masyarakat.


Kendati pemerintah sudah menentukan harga sesuai fluktuasi pasar sejak 2015 tetapi PT Pertamina sebagai distributor BBM tidak bisa menetapkan harga sesuai harga pasar. Pertamina tetap harus mendapatkan "restu" dari pemerintah untuk menaikkan harga BBM.

Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor dari pembengkakan subsidi BBM mengingat harga ICP dan nilai tukar rupiah selalu bergerak dinamis.


Bila dulu Premium menjadi cerita, maka kini harga BBM yang menjadi perhatian adalah Pertamax dan Pertalite karena keduanya paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Pertalite diperkirakan menguasai 47% dari total konsumsi BBM di Indonesia.

Pada Selasa (29/3), pemerintah telah menetapkan Pertalite sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP). Dengan menjadi BBM penugasan maka selisih antara biaya produksi dan harga jual penetapan sepenuhnya akan diganti oleh pemerintah.

Sebagai catatan, Pertamina menjual harga Pertalite (RON 90) di harga Rp 7.650 - Rp8.000 per liter sementara Pertamax (RON 92) di harga Rp 9.000 - Rp 9.400 per liter. Sebagai perbandingan, Shell Super (RON 92)dijual dengan harga Rp 12.990 per liter.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan langkah pemerintah untuk mempertahankan harga Pertalite dan Pertamax di bawah harga keekonomian menjadi strategi jangka pendek untuk menjaga inflasi dan daya beli.


"Namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahunnya harus terus disubsidi. Kebijakan subsidi BBM yang dilakukan setiap tahun menjadi kontraproduktif terhadap anggaran," tutur Josua, kepada CNBC Indonesia, Rabu (30/3).


Dia menambahkan subsidi BBM merupakan kegiatan konsumtif dan subsidi tersebut cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah. Selain itu, disparitas harga yang tinggi berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan tindakan menyalahgunakan subsidi seperti menjual ke industri ataupun penyelundupan.

"Dengan Pertalite disubsidi, terdapat risiko peralihan konsumsi BBM dari sebelumnya BBM non subsidi ke BBM Subsidi. Terdapat potensi kenaikan jumlah konsumsi Pertalite ke depan, apalagi jika disparitas harga cukup tinggi," tuturnya.

Josua memperkirakan dengan asumsi harga minyak Brent rata-rata $100 per barrel serta mengasumsikan rata-rata nilai tukar rupiah di kisaran Rp 14.350 per dollar, maka total subsidi untuk Pertalite mencapai Rp 116,1 triliun. Sementara itu, subsidi Pertamax mencapai sekitar Rp 87,1 triliun.

Untuk subsidi Elpiji, dengan asumsi konsumsi tetap 8 juta ton (sesuai APBN 2022) dan dengan asumsi nilai tukar Rp 14.350/US$1, pembengkakan subsidi diperkirakan menjadi sekitar Rp 100 triliun.

Sebagai informasi, tahun ini  subsidi BBM dan LPG 3 Kg ditetapkan sebesar Rp 77,55 triliun. Subsidi ditetapkan dengan menghitung ICP sebesar US$ 63/barel dan nilai tukar rupiah Rp 14.350.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan akan sangat bagi Pertamina untuk menaikkan harga Pertamax sesuai harga keekonomiannya yakni sekitar Rp 12.000 per liter.

"Itu akan membuat harga Pertamax sebesar 56% lebih mahal dibandingkan Pertalite dan akan membuat konsumen beralih dari Pertamax ke Pertalite," tutur Satria, kepada CNBC Indonesia.

Dia menambahkan jika Pertamax naik kemungkinan harga nya menjadi Rp 10.500 per liter. Kenaikan harga yang terlalu tinggi bisa membuat konsumsi Pertalite naik drastis dan berimbas pada keseimbangan pasokan Pertalite.

"Itu bisa membuat kelangkaan pasokan dan memperbesar anggaran subsidi BBM," ujarnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/roy)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Mulai 1 Juli 2025, Pertamina Naikkan Harga BBM Non-subsidi

Next Article Sri Mulyani Jawab Kritik PDI P Soal Subsidi Mobil Listrik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular