
Subsidi BBM Terancam Jebol! Bagaimana Ini, Bu Sri Mulyani?

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution mengatakan pemerintah tidak perlu mengajukan APBN-P untuk mengatasi kenaikan BBM. Sesuai ketentuan, pemerintah bisa menyesuaikan realisasi subsidi BBM tanpa perlu mengubah UU APBN.
Dalam UU APBN 2022 Pasal 16 ayat (3) disebutkan anggaran untuk Program Pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro, perubahan parameter, perubahan kebijakan, dan/atau pembayaran kekurangan subsidi tahun-tahun sebelumnya.
"Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan revisi terhadap APBN tanpa perlu konsultasi terlebih dahulu dengan DPR," tutur Damhuri, kepada CNBC Indonesia.
Cerita kenaikan subsidi BBM bukanlah barang baru. Sepanjang 12 tahun terakhir (2010-2021), hanya empat kali realisasi BBM di bawah alokasi yang ditetapkan yakni pada 2010, 2014, 2015, dan 2019. Lonjakan besar subsidi BBM terjadi bahkan pernah terjadi pada periode 2012-2014. Lonjakan terjadi karena sejumlah faktor mulai dari kenaikan ICP, tingginya konsumsi, hingga pelemahan rupiah.
Sebagai catatan, sebelum 2015, pemerintah menetapkan subsidi BBM berdasarkan harga ICP, nilai tukar, serta volume konsumsi. Pemerintah akan menetapkan harga pada level tertentu sehingga subsidi langsung jebol jika salah satu parameter tidak sesuai ketentuan. Pasalnya, pemerintah akan menanggung selisih dari kelebihan harga ICP atau nilai tukar ataupun kelebihan kuota.
Sebelum periode 2015, pemerintah biasanya mengajukan APBN Perubahan (APBN-P) untuk menaikkan alokasi subsidi BBM atau menaikkan harga BBM. Kenaikan harga biasanya akan dibarengi dengan sejumlah kompensasi seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) agar dampak kenaikan BBM bisa dimitigasi.
Pada 2012, pemerintah menaikkan alokasi subsidi BBM menjadi Rp 137,4 triliun melalui APBN-P dari Rp 123,6 triliun yang ditetapkan dalam APBN.
Namun, realisasi subsidi BBM pada 2012 tetap jauh melewati alokasi yakni Rp 211,9 triliun.
Pada 2013, alokasi subsidi BBM di APBN ditetapkan sebesar Rp 274,74 triliun. Pemerintah mencoba mengurangi subsidi BBM melalui APBN-P pada tahun 2013 menjadi Rp 199,9 triliun. Belanja subsidi diharapkan berkurang setelah ada kenaikan harga BBM di pertengahan tahun. Namun, realisasi subsidi BBM menembus Rp 210 triliun, lebih tinggi dari alokasi.
Sejak 1 Januari 2015, pemerintah tidak lagi menanggung subsidi BBM Premium. Penentuan harga premium mengacu pada fluktuasi harga minyak dunia yang dievaluasi pada periode tertentu tetapi harga BBM tetap ditetapkan pemerintah.
Dengan harga yang masih ditetapkan maka Pertamina sebagai distributor BBM tidak bisa menetapkan harga sesuai harga pasar terkini. Kondisi tersebut bisa membebani Pertamina sebagai distributor BBM yang ditunjuk pemerintah.
Kendati harga BBM sudah mengikuti fluktuasi pasar, realisasi subsidi BBM masih saja membengkak. Pada tahun lalu, misalnya, subsidi BBM membengkak dari Rp 56,9 triliun menjadi Rp 83,79 triliun karena kenaikan ICP. Untuk tahun ini, realisasi subsidi energi, termasuk BBM, hingga Februari 2022 mencapai Rp 21,7 triliun, jauh lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni Rp 12,4 triliun.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]