Jakarta, CNBC Indonesia - Serangan Rusia masih terus terjadi di Ukraina. Meski gencatan senjata dilakukan di sejumlah wilayah untuk koridor perdamaian, guna evakuasi pengungsi, pertempuran sengit dikabarkan masih terjadi hingga Kamis (9/3/2022) waktu setempat.
Rusia dikabarkan membombardir sebuah Rumah Sakit (RS) bersalin dan anak-anak di kota Mariupol Ukraina Timur. Kota ini ingin direbut karena bisa menghubungkan logistik dari Krimea yang kini dikuasai Moskow.
Bom juga ditembakkan jet tempur Rusia di kota Chernihiv. Berikut rangkumannya dikutip CNBC Indonesia dari berbagai sumber, Jumat:
Perang Batal Kelar
Pertemuan antara Rusia dan Ukraina melalui menteri luar negerinya masing-masing di Turki berakhir antiklimaks. Dalam agenda yang berlangsung Kamis waktu Ankara, tidak ada kesepakatan konkret terkait pengakhiran perang.
Seperti diwartakan CNBC International, diskusi antara Menlu Rusia Sergey Lavrov dan Menlu Ukraina Dmytro Kuleba hanya berlangsung sekitar 1,5 jam. Tak ada kemajuan berarti dalam pembahasan mengenai gencatan senjata 24 jam maupun jalur evakuasi warga sipil dari kota Mariupol.
Kuleba menyatakan pembicaraan itu berlangsung dengan mudah sekaligus sulit. Ia pun mengaku kecewa karena Lavrov tampaknya tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan karena ada pihak yang lebih berwenang di Rusia.
"Mudah karena Menteri Lavrov pada dasarnya mengikuti narasi tradisionalnya tentang Ukraina," katanya.
"Tetapi sulit karena saya berusaha melakukan yang terbaik untuk menemukan solusi diplomatik atas tragedi kemanusiaan di medan pertempuran dan di kota-kota yang terkepung."
Jumlah Korban
Sementara itu, jumlah warga sipil yang tewas akibat serangan Rusia ke Ukraina terus bertambah. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan sedikitnya 549 warga jadi korban, dengan 41 di antaranya anak-anak.
Angka ini diyakini masih akan terus bertambah. Setidaknya sedikitnya 975 warga sipil terluka akibat serangan.
Halaman 2>>
Sementara itu, pemerintah Filipina menyebut siap membantu Amerika Serikat (AS) bila nanti pertempuran terjadi melawan Rusia pascaserangan Moskow ke Ukraina. Hal ini menjadi bagian dari perjanjian pertahanan bersama yang diteken pada 1951 lalu.
Mengutip Associated Press, Kamis (10/3/2022), Duta Besar Filipina untuk AS, Jose Manuel Romualdez, menyebut bahwa serangan Rusia ke Ukraina merupakan hal yang salah di mata Presiden Rodrigo Duterte. Manila juga mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menuntut penghentian segera serangan Moskow ke Ukraina.
"Jika mereka meminta dukungan dari Filipina, sangat jelas bahwa, tentu saja, jika ada dorongan, Filipina akan siap untuk menjadi bagian dari upaya, terutama jika krisis Ukraina ini meluas ke Wilayah Asia," kata Romualdez dalam briefing online dengan wartawan.
"Beri mereka jaminan bahwa jika diperlukan, Filipina siap menawarkan fasilitas apa pun atau hal apa pun yang dibutuhkan AS untuk menjadi sekutu utama kami."
Meski begitu, Romualdez mengatakan Manila belum berpikir untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia seperti apa yang dilakukan negara-negara Barat pimpinan AS.
Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951 sendiri mewajibkan AS dan Filipina untuk saling membantu jika terjadi serangan. Ini sendiri dibuktikan dengan bantuan Washington baru-baru ini yang diberikan kepada Manila pasca ketegangannya dengan China di Laut China Selatan (LCS).
Dampak Ngeri Ekonomi Global
Sementara itu, IMF memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global karena serangan Rusia ke Ukraina. Selain ekonomi Ukraina yang porak-poranda, sanksi Barat juga akan menyebabkan "kontraksi tajam" ekonomi Rusia.
Sanksi larangan impor energi Rusia, termasuk minyak, gas, dan lainnya, juga pasti akan meluas ke ekonomi global. Ini menyebabkan biaya energi dan komoditas utama lainnya seperti gandum, pupuk, dan logam melonjak.
Meski demikian, IMF baru akan mempublikasikan perkiraan terbaru bulan depÄn. Sebelumnya, IMF pada Januari memangkas perkiraan pertumbuhan global untuk 2022 menjadi 4,4% karena dampak negatif varian Omicron dari Covid-19.
Halaman 3>>
China akan mendapatkan sanksi dari Amerika Serikat (AS) jika mengabaikan hukuman Barat yang telah diberikan ke Rusia. Hal ini dikatakan Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo, dalam sebuah wawancara di CNBC International.
"Ini bukan hanya perusahaan China," tegasnya.
"Kami serius tentang kontrol ekspor ini. Kami bermaksud untuk memberlakukannya terhadap perusahaan dan negara mana pun."
Ia juga mengatakan hal serupa dalam wawancara dengan New York Times. Bahwa Kementerian Perdagangan AS dapat mengambil tindakan yang "menghancurkan" terhadap perusahaan-perusahaan China jika mengekspor barang ke Rusia.
China sendiri belum mengomentari ini. Namun China diketahui tidak memberikan pernyataan mengutuk Rusia atas serangan yang dilakukan sejak 24 Februari itu.
Kemarin, pemerintah Xi Jinping melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian, memberi pernyataan yang menunjuk NATO sebagai biang keladi memuncaknya konflik Moskow dan Kyiv..
Beijing menyalahkan aliansi pakta pertahanan pimpinan AS tersebut yang ditudingnya 'memanas-manasi' konflik antara kedua negara yang sudah berlangsung sejak 2014.
NATO disebut 'menyiram bensin ke api' dalam konflik kedua negara dengan memberikan kesempatan Ukraina gabung bersama mereka. Akibatnya, ujar China, Rusia merasa terprovokasi sehingga melancarkan agresi ke Ukraina.
Di kesempatan yang sama, China juga mendesak AS untuk menanggapi kekhawatiran pemerintah Xi Jinping tersebut. Dia pun meminta AS tidak mengganggu hak dan kepentingan China dalam menangani masalah di Ukraina dan hubungannya dengan Rusia.