Minyak Meroket Tembus US$ 140/Barel, Simalakama buat RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan harga minyak mentah dunia semakin tak terbendung sebagai imbas dari serangan Rusia ke Ukraina yang semakin panas, bahkan jauh dari kata berakhir.
Pada perdagangan Senin, (7/3/2022) pagi, minyak mentah jenis Brent meroket hingga nyaris menembus US$ 140 per barel, tepatnya US$ 139,13 per barel, melesat lebih dari 17%, melansir data Refinitiv.
Level tersebut merupakan yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir sejak 15 Juli 2008. Brent juga sudah tidak jauh dari rekor tertingginya di US$ 147,5 per barel yang dicapai pada 11 Juli 2008 lalu.
Minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) juga melesat ke US$ 130,5 per barel yang juga berada di level tertinggi sejak Juli 2008.
Harga minyak tersebut sudah mencapai lebih dari dua kali lipat dari asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar US$ 63 per barel.
Bila perang terus terjadi, harga minyak mentah dunia bahkan diperkirakan bisa menembus US$ 185 per barel, berdasarkan analisis JPMorgan.
Kondisi ini tentunya akan berdampak buruk bagi Indonesia, khususnya sebagai net importir minyak.
Widhyawan Prawiraatmadja, Pengamat Migas dan juga Mantan Gubernur Indonesia untuk negara-negara pengekspor minyak (OPEC) 2015-2016, menilai bahwa kondisi ini akan menjadi simalakama bagi Indonesia.
Dia beralasan, dengan kian melonjaknya harga minyak mentah dunia, maka kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau subsidi energi menjadi tak akan terelakkan. Bila harga BBM ini dinaikkan, maka ini akan berdampak pada kenaikan inflasi. Sementara bila harga BBM tidak dinaikkan, maka subsidi negara akan semakin membengkak.
"Memang menjadi simalakama. Kalau harga disesuaikan naik pasti akan menyebabkan inflasi, kalau tidak disesuaikan, subsidi akan membengkak. Dua-duanya berat bagi Indonesia," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022).
Dia memperkirakan, laju perubahan harga minyak ini akan sangat bergantung pada berapa lama perang akan berlangsung. Semakin lama perang terjadi, maka ini akan meningkatkan ketidakpastian pasokan minyak dunia. Terlebih, lanjutnya, bila sejumlah negara Barat menerapkan sanksi larangan impor minyak dari Rusia, maka menurutnya ini akan memicu kenaikan harga minyak lagi ke depannya.
"Untuk harga, skenario tergantung dari seberapa lama perang ini akan memengaruhi supply demand, serta apakah akan ada sanctions terkait minyak Russia (seperti yang dialami Iran). Semakin lama akan semakin meningkatkan ketidakpastian, kalau ada sanksi artinya supply akan berkurang, kedua hal tersebut mengisyaratkan harga akan naik lagi," paparnya.
Tumbur Parlindungan, Praktisi Migas, juga menyebut bahwa lonjakan harga minyak mentah dunia ini membuat kenaikan harga BBM non subsidi seperti bensin dengan nilai oktan 90 (RON 90) atau Pertalite dan Pertamax (RON 92) yang selama ini masih ditahan pemerintah dan Pertamina, tak akan terhindari.
Bila kenaikan harga ini tidak dilakukan, maka menurutnya Pertamina akan menanggung kerugian atau negara harus memberikan subsidi lebih besar yang tentunya akan semakin meningkatkan beban keuangan negara.
"Kenaikan Pertalite dan Pertamax tidak bisa dihindarkan.. Harus dinaikkan sesuai dengan market price.. Kalau tidak dinaikkan, Pertamina menanggung kerugian dan negara harus mensubsidi perbedaan harga tersebut. Ini akan sangat membebani keuangan negara bila tidak dilakukan adjustment dengan harga pasar," jelasnya.
Dengan tak terhindarkannya kenaikan harga BBM akibat lonjakan harga minyak dunia ini, maka menurutnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah memitigasi langkah mengurangi dampak tidak langsung terhadap kenaikan harga bahan bakar.
"Yang perlu diwaspadai adalah indirect impact dari meningkatnya harga bahan bakar ini dan dicarikan mitigasi untuk mengurangi indirect impact-nya, terutama untuk sektor-sektor perekonomian yang memengaruhi hajat hidup orang banyak," tuturnya.
Menurutnya, meski peningkatan pendapatan di hulu migas juga akan naik signifikan karena kenaikan harga minyak mentah dunia ini, namun dengan kondisi produksi migas di Tanah Air yang semakin menurun, lonjakan pendapatan di hulu masih tidak akan bisa menutupi biaya di sisi hilir.
"Karena produksi migas Indonesia yang terus menurun dan kita akan meningkatkan impor migas dengan semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi (post Covid pandemic), peningkatan pendapatan dari hulu dan pajak migas masih sangat kurang untuk mengantisipasi dampak lonjakan harga energi," jelasnya.
Seperti diketahui, pada 3 Maret 2022 Pertamina resmi menaikkan harga tiga produk BBM non subsidi, yakni bensin Pertamax Turbo (RON 98), Dexlite (Cetane Number/CN 51), dan Pertamina DEX (CN 53).
Ini merupakan kenaikan harga BBM non subsidi Pertamina untuk kali kedua di tahun 2022 ini. Sebelumnya, Pertamina juga menaikkan harga ketiga jenis produk BBM non subsidi tersebut pada 12 Februari 2022 lalu.
Adapun kenaikan harga jual ketiga jenis BBM Pertamina per 3 Maret 2022 ini di kisaran Rp 500 - Rp 1.000 per liter.
Namun, Pertamina masih mempertahankan harga bensin Pertalite dan Pertamax masing-masing pada harga Rp 7.650 per liter dan Rp 9.000 per liter. Harga kedua bensin ini, khususnya Pertamax, tidak berubah sejak Februari 2020 sebelum adanya pandemi Covid-19.
Lonjakan harga minyak mentah dunia juga memicu kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Pada Februari 2022 saja ICP sudah melonjak menjadi US$ 95,72 per barel, naik US$ 9,83 per barel dari US$ 85,89 per barel dari rata-rata ICP pada Januari 2022. Ini artinya, sudah jauh lebih tinggi dari asumsi ICP dalam APBN 2022 yang ditetapkan sebesar US$ 63 per barel.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, kenaikan ICP menyebabkan harga keekonomian BBM meningkat, sehingga menambah beban subsidi BBM dan LPG, serta kompensasi BBM (atas penjualan BBM non subsidi) dalam APBN.
Setiap kenaikan US$ 1 per barel berdampak pada kenaikan subsidi BBM dan LPG sekitar Rp 4,17 triliun, terdiri dari kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.
Sebagaimana diketahui, subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 sebesar Rp 77,5 triliun. Subsidi tersebut pada saat ICP sebesar US$ 63 per barel.
(wia)