
Ngeri, 2 Negara Ini Jadi "Korban" Sanksi Barat ke Rusia

Jakarta, CNBC Indonesia - Sanksi yang dijatuhkan ke Rusia karena serangan militer ke Ukraina "memakan korban". Setidaknya ada dua negara yang mulai merasakan dampaknya.
Jerman
Menurut Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck sanksi ke Rusia akan berimbas pada melambatnya pemulihan ekonomi. Apalagi kalau bukan kenaikan harga energi.
"Konsekuensi dari sanksi dan perang terlihat dan situasinya tetap tegang," kata Habeck setelah berbicara dengan bisnis Kamis lalu sebagaimana dikutip Reuters.
"Kami berharap mengalami fase pemulihan musim semi ini. Tapi sekarang ada konsekuensi perang."
Ia berharap langkah-langkah yang diambil pemerintah akan efektif, termasuk memberi bantuan ke pebisnis. Diharapkan paya ini bisa mencegah resesi.
Perlu diketahui Eropa memang sedang mengalami kenaikan harga energi gila-gilaan sejak pertengahan 2020. Ini akibat melemahnya pasokan gas karena pemulihan permintaan akibat meredanya kasus Covid-19 (sebelum munculnya Omicron) namun tak dibarengi pasokan yang cukup di pasar.
Eropa sendiri, termasuk Jerman, mengandalkan gas Rusia. Ini karena gas dianggap sebagai sumber energi fosil paling bersih, seiring belum maksimalnya energi terbarukan.
Diketahui gas Rusia mendominasi 55% impor Jerman. Dengan pengurangan impor, Jerman harus berpikir ulang soal tata energinya, termasuk penggunaan nuklir serta batu bara lagi.
Jerman juga menyebut rencana mengganti gas Rusia dengan gas alam cair (LNG) dari Amerika Serikat (AS) atau Qatar. Dana sebesar US$ 1,7 miliar juga segera dianggarkan.
Namun skenario ini belum didukung infrastruktur untuk menyerap pasokan baru yang besar. Jerman tak memiliki terminal LNG di sepanjang pantai tempat kapal tanker dapat berlabuh.
Ketidaksiapan infrastruktur membuat Jerman harus mengimpor pasokan melalui salah satu dari 21 terminal Uni Eropa lainnya. Ini merupakan solusi yang mahal pada saat harga energi melonjak di benua tersebut.
"Kami akan mengubah arah untuk mengatasi ketergantungan impor gas," kata Kanselir Jerman Olaf Scholz.
Turki
Perang antara Rusia dan Ukraina membuat harga komoditas minyak meroket. Kondisi ini juga memberikan hantaman keras bagi Turki.
Kenaikan tersebut membuat Turki mencatat lonjakan inflasi. Per Februari saja, inflasi di Turki mencapai 4,81%.
Level ini, jika diakumulasi sejak Februari 2021, maka Turki telah mencatat inflasi yang meroket hingga 54,44%. Ini merupakan level tertinggi selama 20 tahun terakhir.
Turki sangat tergantung dengan impor energi. Tingginya harga minyak mentah membuat defisit neraca perdagangannya melonjak hingga 140% secara tahunan atawa year on year (yoy).
Ekspor Turki di bulan Februari sebesar US$ 20 miliar tumbuh 25,4% (yoy), sementara impor meroket 45,6% (yoy) menjadi US$ 28,1 miliar. Sehingga defisit neraca perdagangan tercatat sebesar US$ 8,1 miliar.
Seperti diketahui, harga minyak mentah sedang meroket belakangan ini akibat perang Rusia-Ukraina. Pada perdagangan Jumat (4/3/2022), harga minyak jenis Brent ditutup di US$ 118,11/barel, melejit 6,93% dibandingkan hari sebelumnya sekaligus menjadi rekor tertinggi sejak Februari 2013.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Janji Merkel: Keamanan Israel Selalu Menjadi Perhatian Jerman