Jakarta, CNBC Indonesia - Harga acuan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terpantau melonjak pada Kamis (3/3/2022), menyusul kenaikan harga komoditas lainnya akibat krisis Ukraina. Akankah minyak goreng di Indonesia makin langka?
Harga CPO kembali mencetak level tertinggi baru (all time high/ATH) pada hari ini, di tengah masih panasnya tensi perang Rusia-Ukraina yang memukul ekspor minyak bunga matahari dunia sebagai minyak nabati.
Harga CPO di bursa Malaysia untuk kontrak Mei 2022 sempat melonjak 4,35% ke MYR 6.950/ton sebelum ditutup di level MYYR 6.789/ton hari ini. Komoditas andalan Malaysia dan Indonesia ini mencetak reli harga sebesar 13,79% secara mingguan dan 31,6% secara tahun berjalan (year-to-date/YTD).
Melonjaknya kembali harga CPO hari ini terjadi di tengah ekspektasi bahwa pembeli akan beralih ke minyak nabati lain, termasuk CPO, untuk mengkompensasi penghentian ekspor minyak bunga matahari dari kawasan Laut Hitam yang tersendat akibat perang.
Serangan Rusia terhadap Ukraina merusak infrastruktur pelabuhan dan fasilitas ekspor lainnya di Ukraina sehingga menghambat ekspor mereka. Laut Hitam menyumbang 60% dari produksi minyak bunga matahari dunia dan 76% dari ekspor di pasar dunia.
Sementara itu, sanksi Barat memukul pasokan Rusia dan memicu kekhawatiran atas gangguan pasokan jangka panjang. "Jika perang berhenti pun sanksi terhadap Rusia mungkin tidak akan segera dicabut," tulis analis UOB Kay Hian dalam laporan riset, yang dikutip Reuters.
Di sisi lain, pasokan dari Indonesia juga masih terhambat karena aturan DMO (Domestic Market Obligation), yang mengharuskan produsen minyak goreng untuk menjual 20% produknya ke pasar lokal guna mengatasi kelangkaan minyak goreng.
India sebagai importir minyak nabati terbesar dunia telah meminta Indonesia memangkas alokasi CPO untuk produksi biodisel. Mereka juga meminta Indonesia meningkatkan ekspor CPO ke India.
Dari pasar minyak nabati lainnya, yakni minyak kedelai, hujan lebat di kawasan pertanian Argentina memang mengurangi kekhawatiran tentang kekeringan berkepanjangan yang bisa menekan panen kedelai.
Namun jika intensitas hujan masih cukup tinggi, panen kedelai pun akan terpengaruh negatif. Dus, harga kedelai di Chicago Board of Trade melesat 1,3%, sedangkan harga kontrak minyak kedelai Dalian juga melesat 1,3%, dan harga kontrak minyak sawit Dalian melonjak 2,9%.
Namun misteri masih menyelimuti Bumi Pertiwi. Indonesia yang merupakan produsen CPO terbesar dunia mengalami paceklik minyak goreng di pasaran, sehingga masyarakat di berbagai daerah mengantre untuk membeli bahan pokok tersebut.
Di tengah kelangkaan tersebut, harga pun membumbung. Pada awal Januari, harga minyak goreng bahkan sempat menyentuh angka Rp 24.00 per liter, naik nyaris dua kali lipat dari sebelumnya yang di kisaran Rp 12.000- Rp 13.000 per liter (untuk produk non-premium).
Dengan produksi CPO pada 2021 yang mencapai 46,89 juta ton, menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), sementara konsumsi nasional hanya 18,42 juta ton, maka Indonesia semestinya berlimpah-limpah untuk urusan stok.
Terlebih, konsumsi sawit untuk pangan hanya mendekati seperempat produksi yang ada, yakni di kisaran 10 juta ton. Dengan demikian, secara matematis semestinya mudah saja mengatasi kelangkaan pasokan minyak goreng dengan mengalihkan hasil panen sawit.
Namun, industri minyak goreng ternyata tidak sesederhana hitungan matematika. Ada persoalan rantai pasok (supply-chain) yang efisiensinya saat ini menjadi misteri nasional. Harap dicatat, industri minyak goreng di Indonesia sangat besar dengan porsi konsumsi CPO untuk pangan mencapai 84%.
Di tengah besarnya dan krusialnya porsi penggunaan CPO sebagai pangan di dalam negeri, pemerintah sayangnya tidak mampu menciptakan pasar yang transparan dan efisien, sebagaimana terbukti dari kelangkaan minyak goreng. Padahal, pemain besar industri minyak goreng ya itu-itu saja.
Bahkan Kementerian Perdagangan mengaku tidak bisa memahami fenomena kelangkaan minyak goreng. Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) I Gusti Ketut Astawa mengaku heran dengan kelangkaan pasokan minyak goreng di pasaran.
"Sebenarnya, secara komitmen, pemenuhan ini harusnya banjir terpenuhi dalam jangka waktu sebulan," ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan Indonesia Consumer Club (ICC) bertajuk Harga Minyak Yang Digoreng Langka, Selasa (1/3/2022).
Nah, jika pemerintah saja tidak paham dan tak mampu memecahkan misteri minyak goreng bahkan ketika perang Ukraina-Rusia dengan segala implikasinya ke lonjakan permintaan dan harga CPO-belum dimulai, maka apa jadinya jika harga CPO sudah melonjak seperti sekarang ketika perang sudah berkecamuk.
Mungkin kita hanya bisa berharap pada duo vladimir, yakni Zelensky dan Putin, agar segera menghentikan perang. Pasalnya, pemerintah kita terbukti tidak bisa mengatasi misteri supply-chain di dalam negeri.
Apa perlu kita ambil jalan pintas klasik yang sering dilakukan ketika pemerintah gagal menjaga supply-chain yang efisien, yakni: impor?
TIM RISET CNBC INDONESIA